Atas kondisi tersebut, Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Mohammad Luthfi akan menempuh langkah diskresi. “Kami minta diskresi, kan ada dua basis dari pembuatan aturan. Yang pertama regulatory dan kedua berbasis diskretif. Sedangkan BPN menggunakan asas regulatory. Jadi kalau di RTRW-nya hitam putih ya hitam putih, nggak bisa diubah,” ujar Luthfi, Rabu (11/12).
Selain itu, pohaknya juga akan merekomendasikan evaluasi peta perda tersebut. Namun, berdasarkan peraturan dari Kemendagri, peta perda baru bisa diubah menunggu sampai tahun 2023.
“Tapi kan namanya aturan, kita bisa judicial review. Tidak hanya undang-undang, tapi RTRW juga bisa di-judicial review. Kami akan melihat potensi kita bisa menuju ke arah sana. Dan salahsatu pilihan yang akan kami pertimbangkan (judicial review) itu,” kata Luthfi.
Dijelaskan, langkah tersebut ditempuh mengingat pihaknya tidak mungkin membatalkannya secara sepihak. Karena, RTRW menurut hukum positif adalah legal alias sah. Sehingga, dipastikan selama dua tahun ke depan akan ada penundaan investor. Pemkab sendiri, kata Luthfi, saat ini sudah me-moratorium pengeluaran izin perumahan.
“Kita sih enggak berharap (penundaan) dua tahun, tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kita akan lakukan kajian hukum, apa yang paling bisa kita lakukan itu yang akan kita dorong. Masyarakat sekarang kan juga butuh perumahan, hanya mungkin kemarin kesesuaian antara kondisi RTRW yang di sahkan dengan kebutuhan masyarakat berbeda, ini yang harus kita sikapi mencari komprominya,” terangnya.
Ditambahkan, langkah yang akan dilakukan pihaknya itu bukan hanya memikirkan kepentingan pengembang semata. Tapi karena ingin menata ulang skema pembangunan 20 tahun ke depan berbasis RTRW yang terencana dengan baik.
Sedangkan untuk pengembang yang sudah terlanjur keluar banyak modal karena perumahan sudah dibangun tapi mentok pada sertifikat induk, Luthfi berjanji akan mencarikan solusinya.
Dirinya berencana akan menggelar audiensi dengan sebagian besar pengembang pada Jumat atau Senin mendatang. “Rencananya jumat atau senin kita mau audiensi dengan sebagian besar pengembang untuk membicarakan solusinya. Kalau kami akan selesaikan dari aspek hukumnya terlebih dahulu, setelah aspek hukum selesai, baru kita selesaikan aspek non hukumnya. Karena kan ini soal aturan,” ungkapnya.
Sebelumnya, audiensi yang dihadiri oleh Bupati Cirebon bersama dinas-dinas teknis, BPN Kabupaten Cirebon, perwakilan BPN pusat, Ketua DPRD, dan Dandim 0620 itu, tidak menemui titik temui atau alias deadlock. BPN Kabupaten Cirebon tetap keukeuh mengacu pada PP No 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Terintegrasi Secara Elektronik.
Menurut Bupati Cirebon, H Imron Rosyadi, tidak adanya titik temu penyelesaian Pertek BPN itu karena ada beda penafsiran tentang Perda RTRW. Dan pemerintah daerah juga berpegang pada RTRW yang ada. Hasilnya, pihaknya dan BPN bersepakat membentuk tim untuk meminta fatwa ke Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR).
“Targetnya, akhir tahun sudah selesai. Kalau tetap tidak ada titik temu kami akan umumkan investasi di Kabupaten Cirebon mandek, gara-gara pertek,” tandas bupati.
Akibatnya, lanjut bupati, dipastikan akan banyak investor yang hengkang dari Kabupaten Cirebon. Meskipun pemerintah daerah mempunyai diskresi atau otoritas, BPN tetap tidak memberikan ruang sebab lembaga vertikal.
Menurut Imron, BPN tidak akan mau mengikuti pemkab. Karena mereka tetap mengacu menggunakan PP No 24 Tahun 2018.
“Kalau mereka tetap menggunakan PP dan pertumbuhan pembangunan Kabupaten Cirebon lambat, Januari nanti akan saya umumkan ke publik bahwa investasi di Kabupaten Cirebon akan menemui kesulitan, karena pemda dan BPN beda pemahaman soal Perda RTRW,” tegasnya.
Sementara itu, Kabid Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Cirebon, Uus Sudrajat mengatakan, terkait pertek untuk investasi di Kabupaten Cirebon masih dikomunikasikan. Pasalnya, masih ada perbedaan cara membaca Perda RTRW dan beberapa peraturan baru yang mereduksi peraturan yang selama ini menjadi acuan pemda.
Menurut Uus, di dalam perbup, mulai dari UU No 26 sampai dengan Permen Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang, izin pemanfaatan ruang itu sudah menjadi wewenang pemkab. Dengan kata lain, fatwa perencanaan dan pengarahan lokasi ada di pemkab. “Menurut kita, ketika orang sudah memiliki fatwa, sudah selesai,” ucapnya.
Namun, dengan keluarnya PP No 24 Tahun 2018 itu akhirnya ada perbedaan. Bahwa PP No 15 Tahun 2010 itu sepanjang ketentuannya tidak bertentangan dengan PP No 24, masih tetap bisa dipakai. Tapi, ketika ada yang bertentangan itu menjadi gugur dan yang dipakai adalah yang terbaru.
“Artinya di PP No 24 itu hanya diketahui sebagai pemohon masuk, kemudian keluar izin lokasi, dan komitmen itu lari ke pertek. Selanjutnya persetujuan pemerintah, balik lagi ke OSS, selesai. Jadi, Seolah-olah dia (BPN) mengabaikan proses yang selama ini kita laksanakan,” paparnya. (Islah)