“Zaman dahulu kala ada Haji Oemar Maroef yang memulai memenuhi kebutuhan membangun musala (tempat beribadah kaum muslimin, seperti masjid, tetapi ukurannya lebih kecil) untuk kepentingan di wilayahnya dengan memanfaatkan sumber daya tanah liat menjadi Genteng,” kata salah satu penggagas JaF, Ginggi Syar Hasyim,dalam keterangannya,Senin (18/7/2022).
Dalam perjalanannya, diawali langkah yang dilakukan Haji Oemar Maroef, pada 1905 an, pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Majalengka, meminta masyarakat untuk membuat genteng secara massal. Kebijakan pemerintah kolonial itu, sekaligus menandai dimulainya industrialisasi genteng.
“1905 pemerintah kolonial Belanda memerintahkan warga belajar membuat genteng dan bata untuk memenuhi kebutuhan mega proyek membangun beberapa pabrik gula. Saat itulah mulai juga diperkenalkan system industrialisasi,” beber dia.
BACA JUGA: Perbaikan Jalan Lingkar Utara Butuh Rp12 Miliar
Satu abad kemudian, tepatnya 2005, JaF, dengan mengusung tanah Liat sebagai bahan untuk berkarya, lahir di Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka.
“2005 JaF berdiri menggagas komoditas genteng dan bata menjadi identitas. Lalu 2012 masyarakat Jatiwangi mulai membuat, meneguhkan komoditas menjadi identitas melalui Rampak Genteng pertama dan membacakan ikrar Jatiwangi bersama,” jelasnya.