SUARA CIREBON – Kuasa hukum Ade Rahman menyatakan keberatan dengan penetapan status tersangka kliennya, dalam kasus tragedi longsor tambang Gunung Kuda yang dilakukan penyidik Polresta Cirebon, awal Juni lalu.
Pernyataan keberatan itu dikemukakan kuasa hukum Ade Rahman, Ferry Ramadhan, saat menggelar jumpa pers, di salah satu rumah makan, Rabu, 18 Juni 2025.
Seperti diketahui, Polresta Cirebon telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus longsor galian C Gunung Kuda, Jumat, 31 Mei 2025 lalu, yang menewaskan 25 orang pekerja.
Kedua orang tersangka itu yakni Abdul Karim, selaku ketua Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Al-Azhariyah sekaligus pemilik tambang, dan Ade Rahman, yang disebut-sebut sebagai Kepala Teknik Tambang (KTT).
Ferry Ramadhan mengatakan, pihaknya menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Polres Kota Cirebon dalam kasus tersebut. Namun, ia menilai penetapan tersangka kliennya tersebut, sangat terburu-buru dan tidak mencerminkan azas keadilan dalam proses hukum.
“Penetapan tersangka terhadap klien kami tidak didasari pertimbangan yang utuh. Ade Rahman bukan lagi menjabat sebagai KTT pada saat kejadian,” ujar Ferry.
Menurut Ferry, sejak 20 November 2021 hingga 20 November 2022, kliennya memang pernah ditunjuk sebagai KTT sementara oleh pihak koperasi tambang. Namun sesuai aturan, penunjukan itu dibatasi masa jabatan KTT sementara yang hanya enam bulan, dengan opsi perpanjangan satu kali.
Setelah masa penunjukan berakhir, menurut Ferry, status Ade Rahman sebagai KTT otomatis tidak berlaku lagi secara hukum.
“Setelah masa itu berakhir, statusnya sebagai KTT otomatis tidak berlaku lagi secara hukum. Memang pada tahun 2023 Ade Rahman sempat mengikuti ujian kompetensi teknik untuk menjadi KTT definitif, tapi tidak lulus. Artinya, tidak ada pengesahan sama sekali, dan secara latar belakang pun beliau adalah sarjana pendidikan, bukan ahli pertambangan,” terangnya.
Pada saat kejadian longsor, imbuh Ferry, Ade Rahman sudah tidak memiliki kewenangan dalam kegiatan operasional tambang, termasuk dalam hal instruksi kerja, penjadwalan, maupun pengadaan alat berat.
Segala bentuk pengaturan teknis di lapangan kepada para mandor, dilakukan langsung oleh pemilik tambang. Bahkan, kliennya tidak mengetahui jalannya proses pertambangan saat kejadian longsor berlangsung.
“Karena posisi beliau sedang berada di rumah, bukan di lokasi,” ujar Ferry.
Terlebih, sesuai data yang ia peroleh dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat maupun dari Inspektur Tambang, Ade Rahman tidak disebutkan sebagai KTT.
Karena itu, sebagai tim kuasa hukum Ade Rahman, pihaknya sedang merumuskan upaya hukum terhadap penetapan tersangka yang dinilai tidak tepat sasaran. Ia meminta agar proses penegakan hukum berjalan objektif dan tidak tebang pilih.
“Kami sedang mempertimbangkan langkah hukum lanjutan, baik praperadilan maupun laporan etik, jika diperlukan,” tandasnya.
Di tempat yang sama, istri dari Ade Rahman, Santi mengatakan, sudah beberapa kali suaminya mengajukan pengunduran diri dari lokasi tambang, namun selalu dihalangi oleh pihak pemilik tanpa alasan yang jelas.
Permohonan pengunduran diri terakhir diajukan suaminya pada bulan Februari lalu, namun tetap tidak diperbolehkan.
“Sudah lama suami emang suka cerita enggak betah lagi kerja di sana, tapi ya mengundurkan diri aja selalu ditahan-tahan,” tutur Santi.
Ia pun mengaku heran dengan posisi suaminya saat ini yang seolah dipaksa tetap terlibat meskipun sudah tidak memiliki kewenangan apapun.
“Kami heran kenapa seperti dipaksa tetap terlibat padahal dia (Ade Rahman, red) sudah tak punya kewenangan apa-apa,” tukasnya.
Ia berharap agar proses penegakan hukum bisa berjalan dengan adil. Mengingat ayah dari tiga orang anak itu tidak memiliki peran penting atas insiden longsor tersebut.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.