SUARA CIREBON – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon mengajak pemerintah desa (pemdes) serius menangani sampah rumah tangga di desa masing-masing. DLH ingin persoalan sampah bisa selsai di tingkat desa.
Kepala DLH Kabupaten Cirebon, Dede Sudiono melalui Sekretaris DLH, Fitroh Suharyono mengatakan, usia Tempat Pembuangan Sampah (TPAS) Gunung Santri di Desa Kepuh, Kecamatan Palimanan makin pendek.
Secara teori, lanjut Fitroh, TPAS Gunung Santri hanya mampu menampung sampah untuk jangka waktu satu setengah tahun lagi.
Hal itu karena, setiap harinya, Kabupaten Cirebon menghasilkan sekitar 1.200 ton sampah. Jumlah itu setara dengan setengah kilogram sampah per orang per hari, jika mengacu pada total penduduk sebanyak 2,4 juta jiwa.
Ia menyebut, sampah-sampah itu berasal dari seluruh lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga lansia. Bahkan popok bayi pun masuk dalam kategori sampah rumah tangga.
Untuk antisipasi sementara, DLH akan memaksimalkan TPAS Kubangdeleg di Kecamatan Karangwareng.
“Guna memperpanjang usia TPAS dan mengurangi ketergantungan terhadap lokasi pembuangan akhir, Pemkab mendorong desa-desa agar lebih serius dalam mengelola sampah. Mulai tahun 2026, setiap desa diwajibkan melampirkan Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan sampah saat pengajuan APBDes,” ujar Fitroh, Selasa, 29 Juli 2025.
Tujuannya, lanjut Fitroh, agar praktik pembuangan sampah liar bisa ditekan, bahkan selesai di tingkat desa. Di tahun ini juga, Pemerintah Kabupaten Cirebon mulai gencar menanggulangi sampah liar. Hal itu demi mewujudkan program unggulan Bupati dan Wakil Bupati, yakni Kampung Bersih.
“Tujuannya, agar setiap kecamatan memiliki satu desa sebagai pilot project dalam pengelolaan sampah. Target 40 desa terlibat aktif. Kami sudah berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) agar desa-desa yang belum bekerja sama dengan DLH segera menjalin kemitraan untuk mengelola sampah secara mandiri,” katanya.
Fitroh mengatakan, hingga saat ini, baru 238 desa yang sudah menjalin kerja sama dengan DLH. Sementara desa lainnya masih perlu digerakkan. Salah satu kendala utama adalah belum tersedianya sarana dan prasarana, serta belum terbentuknya unit pengelola sampah di tingkat desa.
“Ada juga desa yang sudah mencoba mengelola sampah, tetapi hanya sebatas mengumpulkannya di satu titik tanpa pengelolaan lanjutan,” terangnya.
Fitroh menambahkan, retribusi pengelolaan sampah sudah diatur sesuai jenis pelanggan. Rumah tangga dikenai tarif Rp10.000 per bulan, kantor Rp150.000 per bulan, dan permukiman desa Rp250.000 per angkut. Sedangkan perusahaan yang menggunakan truk Amrol dikenakan Rp400.000 per rit, dan Rp500.000 per rit jika menggunakan dumptruk DLH beserta kru.
“Tahun ini, kami menargetkan pendapatan dari retribusi sampah mencapai Rp8,35 miliar. Angka ini naik signifikan dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar Rp6,3 miliar,” pungkasnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.