SUARA CIREBON – Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) menekankan pentingnya keberdaan ahli gizi di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menjadi dapur penyedia program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ketua Persagi Kabupaten Cirebon, Sartono, mengatakan, SPPG sudah layak beroperasi meskipun belum memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS), dengan catatan, tenaga pokok termasuk ahli gizi terpenuhi.
Menurut, Sartono, posisi ahli gizi di setiap dapur MBG ini dalam rangka memperkuat pemenuhan standar ketenagaan. Di mana setiap komponen dapur MBG harus ada pengawas, kepala SPPG, ahli gizi dan akuntan.
Di Kabupaten Cirebon, jumlah SPPG yang terdaftar mencapai 75 unit. Dari jumlah tersebut, sebanyak 40 SPPG sudah beroperasi dan sudah memenuhi persyaratan bahkan sebelum beroperasi, salah satunya telah mengantongi SLHS.
“Sebenarnya boleh saja SPPG beroperasi meskipun belum mengantongi SLHS. Namun dengan catatan, tenaga pokoknya sudah terpenuhi, termasuk ahli gizi di dalamnya. Sebaliknya jika belum memiliki ahli gizi, maka SPPG dilarang beroperasi,” kata Sartono, Senin, 27 Oktober 2025.
Kasus keracunan MBG yang terjadi di Bandung Barat, menurut Sartono, hal itu karena tenaga yang direkrut bukan dari ahli gizi, melainkan dari farmasi.
“Jadi, sebetulnya kalau dari sisi profesi gizi, selama di SPPG-nya ada ahli gizi yang terstandar, enggak ada masalah,” tegas Sartono.
Karena jika melihat orientasi Badan Gizi Nasional (BGN) sejak awal, hanya pada kuantitatif. BGN belum mengukur program MBG dari sisi kualitas, termasuk standar pemenuhan SLHS.
“Maka kalau saya sih tetap pada ranah ahli gizi, bahwa setiap ahli gizi di dapur MBG harus kompeten,” tegasnya.
Persagi, imbuh Sartono, telah mewajibkan semua ahli gizi memiliki KTA anggota Persagi untuk memastikan ahli gizi terstandar. Namun kenyataannya, mayoritas ahli gizi belum mempunyai KTA, karena rerata mereka baru lulus alias fresh graduate.
Ia menjelaskan, ketentuan standar ahli gizi saat ini cukup dari lulusan D3 saja, bukan lagi S1. Bahkan, lulusan D3 yang belum mempunyai ijazah pun diperbolehkan ketika syarat berupa keterangan lulus sudah dipenuhi.
“Jadi kalau kami tentu bicara dari ranah profesi, bahwa SPPG tidak boleh running (berjalan/beroperasi, red) kalau belum ada ahli gizi,” terangnya.
Meskipun regulasi mengharuskan SPPG memiliki SLHS sebagai syarat operasional, lanjut Sartono, namun salah satu persyaratannya juga mengharuskan 50 persen tenaga di SPPG memiliki sertifikat sebagai penjamah makanan.
Hal itu sesuai yang tercantum di dalam Undang-undang Kesehatan yang mengatur kewajiban 50 persen tenaga MBG tersertifikasi untuk 3.000 porsi MBG.
“Jadi kalau 47 orang, harusnya minimal 24 orang sudah punya sertifikat. Jadi yang sekarang dikejar tuh itu,” ujarnya.
Karena untuk bisa mendapatkan SLHS ini, SPPG tidak diikutkan dalam pelatihan. Tapi hanya mengupload dokumen ke aplikasi OSS. Di mana syarat untuk mendapatkan SLHS ini SPPG harus memiliki uji laboratorium pangan, uji laboratorium alat, uji laboratorium lingkungan dan sertifikat penjamah makanan.
Jika sejumlah syarat itu terpenuhi, maka SLHS akan keluar setelah melalui proses upload.
“Jadi jangan bicara SLHS dulu, nanti belakangan, yang penting sekarang semua relawan wajib memiliki sertifikat penjamah makanan,” tegasnya.
Sartono menyampaikan, saat ini semua dapur MBG yang telah beroperasi dipastikan telah mempunyai ahli gizi. Pihaknya pun telah melakukan bimtek untuk 55 ahli gizi dari 55 dapur MBG yang ada.
“Artinya saya bisa pastikan 55 SPPG itu punya ahli gizi yang standar,” pungkasnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.