KORNAS MP BPJS, Hery Susanto meminta pengelolaan BPJS Kesehatan PPU dan PBPU dialihkan kepada BP Jamsostek
JAKARTA, SC- Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS), Hery Susanto menuding tata kelola BPJS Kesehatan carut marut. Pasalnya, di tahun 2019 ini defisit BPJS Kesehatan tembus ke angka Rp 32 triliun.
Meski pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100% pada tahun 2020, potensi defisit tetap akan terus terjadi. Hal ini akibat peserta JKN yang dikelola BPJS Kesehatan terlalu besar hingga mencapai lebih dari 222 juta orang. Demikian disampaikan Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS), Hery Susanto, melalui siaran persnya di Jakarta (27/11/2019).
“Pemerintah melalui BPJS Kesehatan tidak mampu mengelola JKN akibat tersentralisasinya pengelolaan JKN seluruh rakyat Indonesia semuanya di BPJS kesehatan,” katanya.
Pengelolaan JKN, kata Hery, mestinya tidak lagi menjadi domain total BPJS Kesehatan. Beban kepesertaan yang ditanggung BPJS Kesehatan terlalu besar.
Menurut dia, segmen peserta JKN harus dipilah dan dibagi berdasarkan kelas pekerja. Untuk jaminan kesehatan pekerja baik pekerja penerima upah (PPU) dan pekerja bukan penerima upah (PBPU) dikelola oleh BP Jamsostek.
“Negara melalui BPJS Kesehatan hanya mengurusi JKN peserta bantuan iuran (PBI) dan ASN maupun non ASN yang dibayar menggunakan APBN dan APBD. Untuk itu beban kepesertaan harus dibagi, jangan semuanya dikelola BPJS Kesehatan,” katanya.
Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang selalu dijadikan kambing hitam karena sering menunggak iuran harus dipilah, yang tidak mampu karena tergolong warga miskin masuk daftar peserta bantuan iuran (PBI) yang menjadi tanggungan APBN dan APBD, sedangkan PBPU yang mampu program JKN-nya dikelola BP Jamsostek. Sedangkan peserta bukan pekerja masuk dalam daftar PBI yang diurusi BPJS Kesehatan.
“Dengan segmen peserta dari unsur pekerja penerima upah dan peserta bukan penerima upah dikelola BP Jamsostek maka beban BPJS kesehatan menjadi berkurang dan hanya fokus urusi PBI, ASN dan non ASN,” kata Hery Susanto.
BP Jamsostek mencatat surplus dana kelolaannya sebesar Rp 410 triliun, sedangkan BPJS kesehatan selalu defisit hingga Rp 32 triliun. Tentu untuk upaya itu harus dilakukan pembenahan tata kelola dan revisi UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.
Efek dari perubahan tata kelola kepesertaan ini maka beban BPJS kesehatan dalam pelayanan kepesertaan akan berkurang dan jumlah peserta BP Jamsostek akan bertambah. “BPJS Kesehatan hanya urusi PBI dan ASN maupun non ASN, maka resiko defisit BPJS Kesehatan murni menjadi tanggungan negara, sedangkan pembiayaan JKN pekerja di BP Jamsostek relatif bisa terbantu karena dana kelolaan yang cukup kuat,” kata Hery Susanto.
Hal ini sangat penting, mengingat dana kelolaan BP-Jamsostek itu murni milik pekerja, bukan dana pemerintah. Prinsip kesembilan dari BPJS yakni “hasil pengelolaan dana jaminan sosial harus digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya bagi peserta,” pungkasnya. (Arif/rls)