KOTA CIREBON, SC- Titik rawan pungutan liar (pungli) terjadi pada siklus kehidupan yang membutuhkan pelayanan publik, seperti pembuatan akte lahir, dunia pendidikan, surat perizinan, surat skep jabatan, pembuatan sertifikat, surat mencari pekerjaan, dan pelayanan publik lainnya.
Hal itu dikemukakan Sekretaris Satgas Saber Pungli, Irjen Pol Agung Makbul, saat menghadiri Forum Group Discussion Masyarakat Anti Pungli Indonesia, di Hotel Prima, Kota Cirebon, Selasa (16/2/2021).
Menurut Agung pungutan liar menurut Kamus Besar Republik Indonesia (KBBI) adalah meminta sesuatu (berupa uang dan sebagainya) kepada seseorang dan atau (lembaga, perusahan dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim.
“Adapun arti pungutan liar dalam perspektif tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang dilakukan seorang pegawai negeri atau pejabat negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut,” kata Agung Makbul.
Dalam diskusi yang mengusung tema,“Menuju Kota dan Kabupaten Cirebon sebagai Wilayah Bersih dari Pungli” itu, Agung mengatakan, sejumlah wilayah pelayanan publik seperti bidang Pertanahan, PUPR maupun Perizinan, rawan dari kasus pungli.
“Pegawai negeri ini menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa orang lain melakukan suatu pembayaran, memotong suatu pembayaran untuk kepentingan pribadi,” paparnya.
Terkait pemberantasan pungli tersebut, lanjut Agung, Presiden RI, Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 87 tahun 2016 yang menugaskan Satgas Saber Pungli memberantas pungli. Satgas diminta untuk bertindak tegas, terpadu, efektif, efisien, dan membuat para pelakunya jera.
Agung Menjelaskan tujuh klasifikasi tentang pungli di antaranya terjadi (ada) kerugian negara, kerugian kebijakan negara, penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, conflict of interest dan gratifikasi.
BACA JUGA: Dewan Pendidikan Minta Pembelian LKS Tidak Dipaksakan
Terhadap pelaku praktik pungli ia menegaskan, setidaknya dua pasal yang disangkakan yakni Pasal 368 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) ancaman hukumannya penjara maksimal 9 tahun dan Pasal 423 KUHP ancaman hukumannya 6 tahun penjara.
“Pasal 368 KUHP subjeknya perseorangan, sementara Pasal 423 KUHP subjeknya pegawai negeri,” tandasnya. (Hanif)