DUNIA pendidikan memang sangat luas. Di masa ini, pendidikan tinggi bukan hanya menjadi lahan kaum laki-laki, namun perempuan pun memiliki hak yang sama. Meski tak sedikit orang yang berpendapat ‘untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, kan ujung-ujungnya ke dapur juga’.
Namun, pendapat itu dibantah dosen bahasa Inggris di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Ana Humardhiana, M.Hum. Ia memiliki perspektif lain dalam dunia pendidikan bagi perempuan, yaitu pendidikan dengan perspektif gender.
Perempuan yang menjadi bagian dari tim perumus kebijakan tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi (PT) dan Penyusun SOP pada Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu mengungkapkan, pendidikan dengan perspektif gender sangatlah penting untuk menciptakan pendidikan yang egaliter.
“Di sini saya tidak memakai istilah perspektif perempuan, agar tidak bias, tetapi memakai istilah perspektif gender, di mana kedua gender dianggap sama haknya dalam dunia pendidikan atau bisa disebut equal,” kata Ana kepada Suara Cirebon, di sela-sela kegiatannya di kampus setempat, Rabu (17/2/2021).
Ana menilai, pendidikan dengan perspektif gender ini harus ditinjau mulai dari materi hingga perangkat pendidikan yang terlibat di dalamnya, seperti pengajar/guru, dosen dan staff yang ada di instansi pendidikan tersebut, lingkungan, serta keluarga. Sedangkan materi bisa ditinjau dari aspek sosiologis yang direpresentasikannya. Di mana, bahan-bahan ajar atau buku-buku pelajaran yang digunakan harus memunculkan topik yang mengusung kesetaraan gender.
“Misal bacaannya bisa mengusung kisah sukses perdana menteri wanita di New Zealand, Jacinda Ardern, ataupun wanita-wanita sukses lainnya, sedangkan kalau ilustrasi sebaiknya menampilkan ilustrasi-ilustrasi yang tidak patriarkis (mengutamakan laki-laki),” katanya.
Bahasa yang digunakan di buku pengantar pendidikan juga, lanjut Ana, harus menerapkan perspektif gender.
“Termasuk bahasa pengantar di kelas, perspektif gender juga seharusnya diterapkan. Saya ambil contoh saja di dalam pelajaran bahasa Inggris, masih banyak buku-buku yang timpang gender, di mana bahasa yang dipakai masih seksis. Masih banyak yang memakai kalimat ‘My father is a policeman and my mother is a housewife’, maupun yang serupa, dengan didukung ilustrasi gambar yang sangat patriarkis juga,” tuturnya.
Di mana, kata Ana, lelaki bekerja di luar rumah dan melakukan kegiatan-kegiatan yang maskulin, seperti berlatih bela diri, panjat tebing, basket, sepakbola, dan lainnya. Sementara perempuan diilustrasikan hanya bekerja di dalam rumah dan melakukan kegiatan-kegiatan yang feminin, seperti menjahit, merajut, memasak, dan lainnya.
Hal itu akan menciptakan pemahaman perempuan dianggap ‘kelelaki-lelakian’ ketika dia menjadi atlet pesepakbola maupun mengikuti latihan bela diri, dan laki-laki dianggap ‘keperempuan-perempuanan’ ketika dia menjadi bapak rumah tangga yang pintar memasak dan merajut.
“Padahal pekerjaan-pekerjaan dan kegiatan-kegiatan tersebut tidak memiliki jenis kelamin. Konstruksi sosiallah yang menyebabkan perempuan dipandang kurang feminin dan laki-laki dipandang kurang maskulin jika melakukan kegiatan-kegiatan tersebut,” ujarnya.
Lalu, imbuh Ana, ungkapan ‘untuk apa perempuan sekolahnya tinggi, kan ujung-ujungnya pasti ke dapur’, ini lah yang membelenggu potensi-potensi hebat yang mungkin saja dimiliki oleh perempuan-perempuan di Indonesia.
“Ungkapan itu seharusnya tidak keluar dari siapa pun juga, apalagi dari keluarga, karena keluarga lah pondasi awal perempuan (maupun laki-laki) untuk memiliki kesadaran gender. Ketika kesadaran gender di dalam keluarga bagus, anak perempuan dan laki-laki akan memperoleh hak yang sama dalam pendidikan. Ketika anak laki-laki boleh mendapatkan pendidikan tinggi, anak perempuan harusnya juga boleh mendapatkan pendidikan tinggi,” bebernya.
Adapun, kata Ana, perkara anak perempuan itu nantinya memilih, bukan dipaksa. Jika menjadi ibu rumah tangga pun tidak apa-apa. Itu adalah hak seorang perempuan, yang tak bisa direbut oleh siapapun.
“Bukankah madrasah pertama anak di dalam keluarga adalah seorang ibu? Berarti jika ibunya berpendidikan tinggi dan berwawasan luas, anaknya pun bisa lebih pintar dan bijak bukan? Tetapi tentu saja, hal ini juga harus dibarengi dengan kontribusi sang ayah,” tegasnya.
BACA JUGA: Herny Gusbrava, Tekankan Self Control
Dalam menempuh pendidikan, kata Ana, bagi perempuan memang susah-susah gampang, apalagi perguruan tinggi. Bisa dibilang gampang, karena zaman sekarang perempuan dimudahkan aksesnya untuk melanjutkan pendidikan di mana saja, dari jenjang sekolah dasar sampai S3, di dalam negeri, maupun di luar negeri. Tetapi bisa dibilang susah ketika orang-orang di sekitar menganggap pendidikan tinggi itu tidak penting bagi perempuan.
“Untuk perempuan yang tinggal di lingkungan seperti ini harus lebih percaya diri lagi, percaya bahwa perempuan mampu dan bisa mematahkan perkataan-perkataan mereka yang memandang sebelah mata kemampuan kita. Bukan untuk mereka, bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk kita dan perempuan-perempuan lain yang terkekang potensinya,” tandasnya. (Yusuf)