KABUPATEN CIREBON, SC- Kesemrawutan data saat ini masih menjadi permasalahan yang belum juga terselesaikan. Tumpang tindih data antara lembaga membuat program yang disusun pemerintah dan proses pembangunannya menjadi tidak terarah. Dampaknya, target dari pembangunan yang dilakukan pun tidak mendapatkan hasil yang maksimal.
Melihat hal itu, Yayasan Wangsakerta yang beralamat di Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon mendorong desa-desa yang berada di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan melakukan pemetaan di wilayahnya masing-masing.
Pasalnya, menurut pendiri Yayasan Wangsakerta, Farida Mahri, perencanaan pembangunan data yang valid itu sangat diperlukan. Karena, dengan jumlah penduduk yang sangat besar, sedangkan tidak memiliki data yang riil, maka hal ini akan menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai.
“Jika tidak ada tenaga, lakuka pendataan itu dengan anak-anak muda di desanya untuk melakukan pemetaan, karena mereka juga kan merupakan aset yang bisa diberdayakan di wilayahnya masing-masing. Hal itu juga dilakukan agar anak-anak muda ini dapat mengenali kampungnya,” kata Farida kepada Suara Cirebon ketika ditemui di yayasan tersebut, Kamis (18/2/2021).
Pasalnya, kata dia, yang memiliki pangkalan data ini adalah desa, karena desalah yang mengetahui situasi di wilayah setempat. Sehingga, desa memiliki informasi yang lengkap dan riil terkait situasi kemasyarakatan dan lingkungannya.
“Karena, dari data itu bisa dianalisis menjadi informasi mengenai potensi dan masalah-masalah di desa dan dapat diselesaikan oleh desa. Seperti masalah kekeringan, berapa rumah yang kekurangan air bersih, berapa rumah yang tidak memiliki MCK, berapa yang tidak memiliki BPJS, dan lainnya. Itu yang harusnya menjadi perhatian pemerintah desa,” paparnya.
Selain itu, Farida menjelaskan, data tersebut pun terkait infrastruktur. Karena, dengan metode yang dilakukan oleh yayasan ini dapat menghitung luas jalan yang harus diperbaiki. Data tersebut pun valid, karena sudah menggunakan foto dari satelit dan tidak lagi melakukan pengukuran secara manual.
“Ini zaman sudah digital, kenapa kita masih mengukur secara manual untuk memudahkan aktivitas kita. Justru seharusnya desa membuat data, karena ini kan berdasarkan mandat juga dari Undang-Undang Desa, yaitu desa harus memiliki sistem informasi desa dan informasinya dari data, kalau desa tidak memiliki data, lalu sistem informasi tersebut mau diisi apa?” imbuhnya.
Farida memaparkan, cepat atau lambatnya proses pemetaan tersebut tegantung dari kesiapan pemerintah desa setempat, kesiapan SDM untuk melakukan pemetaan, dan berapa item yang ingin dipetakan.
“Itu semua tergantung. Memang bisa cepat, tapi semuanya harus bergerak. Seperti pengalaman saya waktu di Bojonegoro itu semuanya bergerak, kader posyandu bekerja. Itu cepat, 2 bulan bisa selesai,” terangnya.
BACA JUGA: PPDI: Banyak Perangkat Desa Diberhentikan Semena-mena
Pihaknya pun menginginkan agar seluruh desa dapat melakukan pemetaan di wilayahnya masing-masing dengan menggandeng sejumlah pihak. Namun, kata Farida, hal itu bukan menjadi penentu pendataan dapat dilaksakan, melainkan harus ada political will dari pemerintah desa itu sendiri.
“Kami di sini hanya memiliki sedikit ilmu. Kalau ingin bersama-sama membangun untuk kemajuan bersama, ya hayu kita siap saja. Membantu tersebut dalam hal membagi ilmu. Tapi soal mengorganisir masyarakat, SDM-nya, dan pendanaannya ya harus dari desa itu sendiri,” tandasnya. (Arif)