HARGA kedelai yang merupakan bahan baku pembuatan tahun dan tempe, saat ini mengalami kenaikan yang sangat drastis. Kondisi tersebut membuat perajin tempe di Kota dan Kabupaten Cirebon menjerit.
Salah seorang perajin tempe asal Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon, Awas (47) menuturkan, harga kedelai yang merupakan bahan baku tempe kini berada di kisaran Rp11 ribu per kilogram (kg)-nya.
“Padahal sebelum pandemi Covid-19 harga kedelai hanya Rp7 ribu per kilo. Dengan adanya kenaikan harga kedelai yang sangat tinggai ini kami tentu sangat kerepotan,” kata Awas, saat ditemui Suara Cirebon, Senin (7/6/2021).
Awas mengaku telah membuka usaha pembuatan tempe semenjak tahun 2014 ini. Saat itu, setiap hari produksi tempenya menghabiskan kedelai di kisaran 1,2 kwintal. Produksi pembuatan tempenya menggunakan dua tungku produksi serta memperkerjakan dua pekerja setiap harinya.
“Semenjak harga bahan baku melejit hingga Rp11 ribu-an per kilonya, produksi terpaksa kita turunkan karena keuntungannya minim sekali,” ujarnya.
Kini, lanjut Awas, dirinya hanya memproduksi tempe di kisaran 60 hingga 70 kg saja saja setiap harinya, sangat jauh mengalami penurunan produksi.
“Saat ini pun, saya hanya produksi satu tungku dan mempekerjakan satu pegawai, karena hasil dari penjualan tempe dengan biaya produksi tidak sebanding, kalau ini terus terjadi bagaimana saya menjalankan usaha sebagai penopang ekonomi keluarga,” keluhnya.
Untuk itu ia menyiasati kondisi ini dengan sedikit mengurangi ukuran tempenya, tanpa mengurangi kualitas produksi. Meski kerap mendapatkan keluhan dari para pelanggannya, namun pada akhirnya konsumen pun memahami kondisi akibat mahalnya harga bahan baku tersebut.
Ia berharap, pemerintah segera melakukan langlah untuk menyetabilkan harga kedelai ke harga sebelum pandemi. Awas mengaku tidak berani menaikkan harga jual tempe karena hal itu berisiko ditinggal pelanggan.
“Pelanggan tempe saya ini kebanyakan masyarakat menengah ke bawah. Kalau harus membeli tempe lebih mahal dari biasanya kasihan juga mereka, sementara biaya produksi sangat mahal,” imbuhnya
Dirinya khawatir, jika pemerintah tidak segera turun tangan, harga kedelai impor akan semakin melejit dan perajin tempe kecil seperti dirinya bisa gulung tikar.
“Kami sebagai pelaku usaha kecil berharap ke depan pemerintah dapat membantu dan memberikan perhatian kepada kami, agar kami dapat menjalankan usaha. Tentunya dengan menstabilkan harga kedelai. Pasalnya selama ini kenaikan kedelai tidak menentu bahkan dalam kurun satu minggu pernah mengalami kenaikan hingga dua kali, meskipun kenaikan itu tidak tinggi namun ini sangat berdampak kepada kami,” tegasnya.
Ia menyebut, sudah sewajarnya jika pemerintah mensubsidi harga kedelai bagi perajin tempe agar usaha tempe dan tahu yang rata-rata dilakukan kelas rumahan tersebut, bisa tetap berjalan.
“Kami ingin ada subsidi kedelai dari pemerintah khususnya kami sebagai pelaku usaha kecil, sehingga keberlangsungan usaha kami dapat terus berlanjut, namun kalau harga bahan baku kedelai impor terus melambung tanpa diimbangi kenaikan harga jual produknya, tentunya usaha kami terancam berhenti,” tandasnya.
Gulung Tikar
Hal yang kurang lebih sama dirasakan Fari Mala, pemilik pabrik tempe rumahan yang berada di Jalan Benteng, Kelurahan Jagasatru, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon.
Fari sapaan akrabnya mengatakan, sebelumnya pabrik tempe rumahan yang dikelolanya sudah berdiri sejak tahun 1981.
“Pabrik tempe kami berdiri pada tahun 1981, pada tahun 2010an atau sebelum Covid-19, harga kedelai hanya Rp6.800 besar-besarnya Rp7.000. Tapi setelah pandemi harga-harga mulai naik dari Rp9.000 hingga sekarang Rp11.000, nanti mungkin bisa lebih,” papar Fari, belum lama ini.
Ia sudah tidak kuat lagi memproduksi tempe, karena harga kedelai yang semakin melambung.
“Biasanya kami memproduksi tempe 60 kg hingga 80 kg, dari 1,5 kwintal kedelai. Kedelai pun kami dapat dari Amerika, karena kualitas serta harganya yang masih murah,” jelasnya.
Dilanjutkan Fari, akibat harga kedelai yang terus naik, banyak perajin tempe yang gulung tikar termasuk dirinya.
BACA JUGA: Perajin Tempe Naikkan Harga Jual
Banyaknya pabrik tempe yang gulung tikar, bukan hanya disebabkan oleh naiknya harga kedelai, akan tetapi kurangnya minat generasi muda untuk meneruskan usaha pabrik tempe tersebut.
“Zaman sekarang, anak muda itu pada malu untuk meneruskan pabrik tempe ini, karena pikirnya sekolah sudah tinggi tapi hanya menjadi pekerja di pabrik tempe ini,” ujarnya.
Untuk kedepannya, lanjut Fari, semoga pabrik tempe terus berjalan, dan semoga banyaknya minat dari generasi muda yang mau meneruskan usaha pabrik tempe ini.
“Jangan hanya gengsi yang di depankan, tanpa adanya penerus dari usaha ini, mungkin tempe di Indonesia akan punah,” pungkasnya. (Baim/Yusuf)