KABUPATEN CIREBON, SC- Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian dan Pengelolaan Dampak Lingkungan Dinas Lingkuhan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon, H Yuyu Jayudin mengungkapkan, pengusaha atau perajin batu alam di wilayah Dukupuntang, Kabupaten Cirebon akan direlokasi setelah dilakukan pengurugan di lahan yang akan ditempati.
Lahan tersebut berlokasi di Desa Girinata, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon. Sesuai rencana, Yuyu mengungkapkan, pengurugan dan relokasi tersebut akan dirampungkan mengikuti masa bakti bupati saat ini.
Dia pun memaparkan, lahan ini telah disediakan sejak tahun 2017. Dari luas 4,2 Ha yang ada di Desa Girinata tersebut, saat ini baru dilakukan pengurugan seluas 0,5 Ha.
“Sesuai RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) direncakan sampai dengan masa bakti bupati sekarang akan diselesaikan,” kata Yuyu, kamis (11/11/2021).
Dia mengungkapkan, tidak semua pengusaha atau perajin dapat direlokasi ke lahan tersebut. Disebutkan Yuyu, jika mengikuti Detail Engineering Desain (DED) yang telah dibuatnya, hanya 80 pengusaha saja yang dapat direlokasi.
“4,2 Ha kalau berdasarkan DED yang sudah kita buat hanya bisa menampung 80 perajin,”ucapnya.
Ketua Komunitas Peduli Sungai (KPS) Raja Dana, Ipul bereaksi terkait hal ini. Dia menyebut, relokasi tersebut bukan menjadi solusi. Karena, menurut dia, relokasi hanya memindahkan masalah ke tempat yang baru.
Terlebih, lanjut Ipul, belum kepastian Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di tempat baru dapat berjalan dengan baik atau tidak. Untuk itu, harus ada rencana lain untuk menciptakan lahan resapan serta cara pengelolaan limbah batu alam tersebut.
“Ya malah cuma disimpan saja, cuma mindahin masalah saja dari daerah Bobos atau lainnya dipindah ke wilayah Girinata. Melemparkan masalah ke orang lain kan muncul yang baru, ini kan apa sih. Berarti kita tidak cerdas dong kalau begitu,” kata Ipul.
BACA JUGA: Relokasi Perajin Batu Alam Ditarget Tahun Depan, Luasnya 4 Hektar
Seharusnya, dia menerangkan, permasalahan tersebut dapat diselesaikan di tempat pengolahan batu alam yang sudah ada. Sebagai pemerintah, tinggal mengawal cara pengelolaan, metode atau langkah-langkah yang perlu dilakukan.
“Metode apa, resep dari mana harus diperhatikan gitu kalau nggak boleh sembarangan. Maka harus ada tempat pengelolaannya, masa nggak bisa sih begitu,” ucap Ipul.
Terlebih, ungkap dia, dampak dari limbah batu alam ini terjadinya pendangkalan pada sungai. Karena, ada petugas sungai yang mendata sejumlah pelanggaran kemudian dilaporkan untuk dilakukan penertiban.
“Di sini kan ada pamong praja yang mengeksekusi itu. Jadi kalau misalnya ada hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran dan tercatat langsung dieksekusi. Kalau misalnya itu tidak, berarti tidak ada laporan dari warga atau laporan itu di ditutup. Bisa jadi kan, ini kan sudah jadi rahasia umum,” pungkasnya. (Sarrah/Job)