SUARA CIREBIN – Puluhan warga yang menempati kawasan permukiman transmigrasi lokal, di Desa Seuseupan, Kecamatan Karangwareng, Kabupaten Cirebon, sudah 20 tahun kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Mereka merupakan warga asal Cirebon yang mengikuti program transmigrasi dari pemerintah ke wilayah Sumatera dan Kalimantan, namun dikarenakan adanya bencana alam, konflik horizontal dan lainnya, sehingga dipindahkan ke kawasan yang disediakan pemerintah sebagai permukiman di Desa Seuseupan.
Salah seorang warga setempat, Muniah Temu, mengatakan dirinya adalah salah seorang transmigrasi asal Desa Gebang Kulon, Kecamatan Gebang, yang dulunya ikut transmigrasi ke Kalimantan.
Pada sekitar tahun 2003 lalu, dirinya dipindahkan ke kawasan transmigrasi di Desa Seuseupan bersama warga transmigrasi dari Aceh dan lainnya.
“Saya bersama warga asal Cirebon lainnya sudah 20 tahun tinggal di sini,” ujar Muniah, Sabtu, 18 Maret 2023.
Muniah menjelaskan, di permukiman transmigrasi lokal tersebut, mereka tidak bisa berkembang. Pasalnya lahan yang tersedia tidak produktif. Selain itu di lokasi tersebut, warga sulit mendapatkan air layak konsumsi, dikarenakan air berasa asin meski jauh dari laut.
Padahal, lanjut Muniah, saat masih di Kalimantan, dirinya telah memiliki usaha. Sementara untuk menggarap lahan, mereka kesulitan karena lahan yang diberikan hanya mengandalkan tadah hujan
Di sisi lain, warga yang tinggal di permukiman transmigrasi Desa Seuseupan itu, hingga kini belum memiliki dokumen kepemilikan akan hak lahan yang dikuasainya, yakni berupa sertifikat tanah.
“Ya gimana lagi, mau pulang ke desa tempat asal juga bingung, di sana sudah tidak ada tempat tinggal, terpaksa dibetah betahin aja di sini,” katanya.
Ia berharap adanya perhatian dari pemerintah kepada warga transmigrasi lokal di Desa Seuseupan tersebut, khususnya bentuk usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan air layak konsumsi.
“Sebagian warga di sini tidak betah dan mengalihkan tempat yang ditinggalinya ke warga setempat, karena di sini tidak bisa berkembang,” tandasnya.
Sementara Kuwu Seuseupan, Sukia, membenarkan, lokasi seluas lebih kurang 4 hektare di desanya, dijadikan permukiman bagi transmigrasi pindahan asal Kalimantan dan Aceh maupun wilayah lainnya.
Sukia mengakui, para transmigran pindahan itu belum memiliki dokumen kepemilikan tanah, dan hingga saat ini lahan yang mereka tempati sifatnya masih Hak Guna Pakai.
“Kalau informasi yang diperolehnya, katanya sudah ada, namun kami sendiri tidak tahu ada di mana sertifikat tersebut. Kami (Pemdes, red) tentunya akan terus berupaya agar tanah atau tempat tinggal warga di permukiman transmigrasi tersebut bisa bersertifikat,” kata Sukia.
Terkait kebutuhan air layak konsumsi, menurut Sukia, hal itu tidaj hanya dibutuhkan warga di permukiman transmigran saja, tetapi juga menjadi tuntutan sebagian besar warga Desa Seuseupan lainnya.
“Warga di sini untuk kebutuhan air biasanya beli, atau ambil di sumur warga yang kebetulan tidak berasa asin, kalau untuk warga di permukiman transmigrasi, ya cukup jauh,” ujarnya.
Ia menjelaskan, di permukiman transmigrasi tersebut, ada sekitar 50 kepala keluarga (KK). Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persennya merupakan transmigrasi pindahan, sementara sisanya merupakan warga pribumi.
Menyikapi berbagai kesulitan yang dialami warganya, ia berharap adanya perhatian dari pemerintah khususnya Pemkab Cirebon, sehingga warga Seuseupan tidak lagi mengalami kesulitan khususnya terkait kebutuhan air layak konsumsi.
“Sekarang banyak yang sudah kembali lagi ke daerah asalnya, karena di sini mereka tidak memiliki usaha. Lahan yang ada tidak produktif dan sulit air, jadi tinggal di sini tidak bisa berkembang, dan serba kesulitan,” pungkasnya.***