SUARA CIREBON – Warga Desa Sindangmekar, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Atikal Maula (23) tidak pernah menyangka kedatangannya ke Sudan, bakal berujung ketegangan karena terjebak meletusnya perang saudara di negara tersebut.
Padahal, tujuan kedatangannya ke negara tersebut adalah untuk mengenyam pendidikan di International University of Africa (IUA) pada jurusan Studi Hadist. Namun, saat masa perkuliahannya memasuki semester tujuh, Atikal justru terjebak perang yang terjadi di Sudan.
Kepada awak media, ia mengaku tidak menyangka akan terjebak selama 9 hari di Qoah, tempat yang kedap suara di negara Sudan tersebut.
Atikal lalu menceritakan detik-detik dirinya terjebak selama 9 hari di Qoah. Saat itu, bersama teman-temannya, ia sedang santai di asrama mahasiswa. Sat mendengar adanya keributan di luar asrama, ia dan teman-temannya mengira itu hanya demonstrasi biasa. Pasalnya, demonstrasi di negara tersebut sudah menjadi hal biasa.
“Tragedi awal itu terjadi pada 15 April, sekitar pukul 09.00 sampai 10.00,” ujar Atikal Maula, Senin, 8 Mei 2023.
Saat itu, dirinya sedang santai sedang menunggu pengumuman dari kampus. Meskipun di dekat asramanya telah terdengar suara tembakan, namun ia tidak mempedulikannya. Karena, ia menganggap suara itu timbul dari aksi demonstrasi yang sudah diaggap lumrah.
Kemudian, tanpa sepengetahuan Atikal dan teman-temannya, ledakan bom dan tembakan terdengar di sekitar kampus International University of Africa (IUA), tempat Atikal kuliah. Tak berelang lama, bunyi rudal pun kerap terdengar.
Menurut Atikal, selanjutnya semua mahasiswa kemudian dikumpulkan dan pihak KBRI langsung memberi pengumuman untuk mengungsi.
Setiap mahasiswa diimbau untuk membawa sejumlah barang berharga terutama berkas penting, dan dua stel baju. Mendapat kabar itu, Atikal pun mengikuti arahan KBRI.
“Kami cuma boleh bawa ransel dan tas tangan yang isinya laptop, dua stel baju dan berkas-berkas penting,” kata dia.
Semua mahasiswa kemudian diungsikan untuk menjauhi markas paramiliter Rapid Support Forces (RSF) yang berada di dekat Kampus. Atikal dan ratusan mahasiswa lainnya kemudian digiring di sebuah aula atau Qoah. Di tempat itulah, Atikal harus bersembunyi selama 9 hari dari perang saudara yang terjadi di Sudan.
“Mahasiswa asing diungsikan ke Qo’ah. Semacam aula besar milik kampus yang kedap suara. Disitu kita 9 hari, dari tanggal 15 April sampai 24 April dengan 70 mahasiswa dari pelajar negara lain juga,” terangnya.
Kemudian dengan segala keterbatasan dan sambil bersembunyi, ia merasa ketakutan terus menghantui setiap waktunya. Terlebih pada waktu malam Lebaran, ledakan bom terdengar berkali-kali sekitar pukul 03.00 dan pukul 06.00 saat salat Idulfitri.
Beruntung, ledakan itu berhenti dan tidak lagi terdengar hingga sampai akhirnya pada tanggal 24 Mei, para pelajar Indonesia digiring dan dikumpulkan di Khourtum. Mereka kemudian diberangkatkan ke Port Sudan menggunakan bus yang sudah disediakan oleh pemerintah setempat.
Ia menuturkan, pemberangkat ke Port Sudan dibagi menjadi empat kloter. Atikal mendapat kloter pertama yang berjumlah 79 pelajar. Dalam perjalanan ke Port Sudan, semua mahasiswa tidak diperbolehkan untuk upload atau sharing foto atau video kemana pun, karena khawatir akan dilacak oleh RSF dan nantinya dicegat.
“Memang pas di jalan SAF (angkatan bersenjata Sudan) dan RSF lagi perang, tapi alhamdulillah kami bisa bernafas lega pas sudah sampai Port Sudan itu,” terangnya.
Setibanya di Port Sudan, Atikal dan mahasiswa lainnya kemudian diupayakan untuk kembali menjauh dari perang tersebut menempuh perjalanan dengan menggunakan kapal, menuju Arab Saudi.
Perjalanan menuju Jeddah Arab Saudi dengan kapal laut ditempuh 20 jam. Namun kloter berikutnya yakni kloter 2,3, dan 4 perjalanannya masih memakai pesawat.
Setelah mendapat sambutan hangat dari pihak Jeddah, dirinya kemudian difasilitasi untuk pulang ke Jakarta pada tanggal 26 April. Kemudian tiba di Jakarta pada tanggal 27 April 2023.
Ia mangku bersyukur bisa tiba di rumah yang berlokasi di Desa Sindangmekar, Kecamatan Dukupuntang, dengan selamat dan mendapat sambutan hangat dari orang tuanya, yakni Rubaeah (54) dan Sanuri (57).
“Orang tua langsung syukuran dengan cara sawer atau melempar uang koin (surak) karena seneng anaknya selamat sehat,” pungkasnya.***