SUARA CIREBON – Ribuan santri menghadiri Seminar Nasional Psikologi Islam yang mengambil tema “Penguatan Dimensi Spiritual dalam Kegalauan Sosial Global”, dalam rangka Haul ke-93 KH Muhammad Sa’id Ponpes Gedongan, yang digelar di halaman utama Masjid Agung Ponpes Gedongan, Minggu, 14 Januari 2024.
Ketua Panitia Haul ke-93 KH Muhammad Sa’id Ponpes Gedongan, KH Ahmad Marzuki Hasanuddin berharap, kegiatan tersebut bisa memberi manfaat. Pihaknya menghadirkan sosok-sosok narasumber itu bisa menjadi inspirasi bagi para santri.
“Karena Kiai Taufik sudah melanglang buana ke negeri Baghdad, Nyai Rihab dan Gus Shobbah juga sudah melanglang buana ke Mesir,” katanya.
Salah seorang narasumber, Gus Muhammad Shobbah Musthofa Aqil dalam kesempatan itu menjelaskan, Allah telah menciptakan manusia bermacam-macam dari jiwa yang satu. Secara akal kalau dari satu jiwa diciptakan maka semua rupanya akan sama dengan Nabi Adam. Tapi yang menjadi titik satu jiwa ini, dicipatakan manusia dengan segala kompleksitasnya, dengan segala macam perbedaannya.
Dalam ilmu maqulat, lanjutGus Shobbah, segala sesuatu yang eksis terbagi menjadi dua. Pertama ada yang wujud didahului ketiadaan, kemudian dia ada yang dinamakan hadits atau baru. Kedua, sesuatu yang eksis tapi tidak diadahului oleh ketiadaan atau qodim, yakni dahulu yang tidak memiliki permulaan.
“Maklhuk atau yang baru ada dua macam, pertama jauhar atau etintas substansial, yakni yang menempati ruang dan tempat. Kedua al-arod atau entitas aksidensial, yakni yang menghinggapi sesuatu yang menempati pada ruang bawah,” ungkapnya.
Jadi, menurutnya, perbedaan-perbedaan yang kompleks ini sudah diciptakan Allah sejak permulaan. Allah mengerti sampai detail diciptakannya manusia.
“Maka perbedaan itu sunnah ilahiyah, oleh karena itu perbedaan ini tidak boleh menjadi alasan untuk bertikai dan bercerai-berai,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan, nilai yang paling utama dan penting dari manusia adalah jiwa. Karena jiwa, lanjut dia, yang dapat mengonfigurasi atau mengatur tubuh manusia. Artinya, lanjut Gus Shobbah, akal tidak bisa mengatur tubuh, tapi yang mengatur anggota tubuh adalah jiwa.
“Maka di dalam Islam, jiwa manusia ini didorong terus untuk melakukan hal-hal yang baik,” katanya.
Rihab Said Aqil yang juga menjadi narasumber dalam seminar tersebut menjelaskan, modernitas telah banyak mengubah gaya hidup, mindset atau pola pikir, serta memodifikasiperilaku umat manusia secara global.
Munculnyagerakan post-modernisme yang berupaya kerasmendobrak pola-pola modern karena dianggap telahmembawa banyak kerusakan dan dehumanisasi, rupanyatidak banyak memperbaiki kondisi.
“Mengapa bisa demikian? Jawabannya, karena di saat yang sama, revolusi teknologi digital dan informasi atau yang akrab dengan sebutan era 4.0 kian menguasai kehidupan umat manusia dan menjalar hingga hampir kekeseluruhan sendi. Digitalisasi telah merangsek menyelimuti wacana politik, ekonomi, pendidikan, budaya, ekologi, dan lain sebagainya,” kata Rihab.
Sementara itu, narasumber sekaligus salah satu pengasuh di Ponpes Gedongan, KH Taufikhurrahman Yasin menyampaikan, dalam bahasa Arab manusia disebut “basarun” karena manusia punya perasaan yang sensitif seperti sensitifnya kulit yang menempel dengan benda-benda lain.
Kemudian, kata dia, manusia juga disebut mar’ul atau ingin serba terlihat. Manusia menurutnya sering narsis. Selain itu, manusia pun disebut juga “insanun” karena manusia sering lupa, termasuk lupa terhadap dirinya sendiri. Manusia juga, katanya, disebut “insun” karena dia individualis.
Yang pasti adalah, kata Kiai Taufik, manusia harus memiliki pegangan hidup. Bahkan, dari sejak dulu sampai sekarang banyak sekali macamnya. Kalau dalam Islam, kata dia, pada masa-masa Platonisme telah merusak pemikiran orang Islam yang kemudian lahirlah kajian ilmu tauhid. Serta didukung oleh keilmuan berikutnya.
“Maka santri-santri Ponpes Gedongan harus paham ilmu filsafat dan harus paham ilmu psikologi,” kata Kiai Taufik.
Ia melanjutkan, manusia juga sering sekali memandang realitas dengan pandangan pinggiran eksistensinya, bukan pandangan subtansial. Seolah-olah kata dia, agama itu tidak ada gunannya. Maka ia pun mengajak semua santri untuk terus mengaji.
“Dengan membaca realitas ilahiyah, basyaraiah dan sosial. Jangan menjadi manusia sekarep dewek. Dan jiwa-jiwa manusia masih sangat rentan dengan gangungungan sosial. Tapi jiwa itu bisa stabil kalau memahami Al-Qur’an,” katanya.***
Dapatkan update berita setiap hari dari suaracirebon.com dengan bergabung di Grup Telegram “Suara Cirebon Update”. Caranya klik link https://t.me/suaracirebon, kemudian join. Sebelumnya, Anda harus install dan daftar di aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.