SUARA CIREBON – Banjir yang terjadi di sejumlah desa dan kecamatan wilayah barat Kabupaten Cirebon, akhir pakan lalu, harus menjadi perhatian khusus Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon.
Pasalnya, banjir terjadi pada bulan Juli yang secara iklim di Indonesia merupakan puncak musim kemarau.
Hal itu dikemukakan, aktivis lingkungan pedesaan, Ikhsan Abdullah kepada sejumlah awak media, Rabu, 10 Juli 2024.
Menurut Ikhsan, hujan yang terjadi saat puncak musim kemarau menandakan adanya perubahan iklim. Ikhsan pun meminta agar Pemerintah Kabupaten Cirebon memitigasi persoalan perubahan iklim ini, sejak dini.
“Jangan menganggap persoalan ini sepele, karena banjir yang merendam rumah-rumah warga menyebabkan kerugian material dan bisa berimbas pada kerawanan pangan, rusaknya sumber air bersih, hingga kerawanan sosial dan keamanan,” kata Ikhsan.
Menurut Ikhsan, banjir tersebut disebabkan jebolnya tanggul Sungai Songket yang aliran sekundernya melintas di beberapa desa.
“Belum adanya mitigasi yang serius dari pemerintah desa, kabupaten, hingga provinsi menyebabkan banjir terjadi di musim kemarau,” ujar Ikhsan.
Ikhsan menuturkan alun-alun Desa Jagapura yang menjadi pusat pemerintahan desa induk, termasuk Masjid Jami Al Muttaqin, terendam setinggi paha orang dewasa. Ini sangat mengherankan karena sebelumnya tidak pernah terjadi banjir di lokasi tersebut.
“Menurut saya, hujan dadakan di musim kemarau ini membuat masyarakat kebingungan menghadapi fenomena cuaca yang anomali. Saya khawatir musim hujan di bulan Oktober, November dan Desember yang curah hujannya tinggi bisa menyebabkan banjir lebih besar,” katanya.
Sebagai putra daerah yang leluhurnya tinggal di Jagapura, Ikhsan ingin mengurai beberapa hal agar banjir tidak berulang. Sungai Kumpul Kwista dan kali sekunder segera dinormalisasi karena saat ini aliran sungai mati dan air hujan tidak bisa mengalir.
“Adanya bangunan liar yang berdiri di atas aliran sungai dan saluran air di tepi jalan provinsi yang menyebabkan saluran air mati dan air hujan meluap tinggi sejajar dengan tanggul Sungai Songket. Pemrov Jawa Barat dan Pemkab Cirebon harus segera turun tangan membongkar bangunan-bangunan liar ini. Jika terlambat, petaka lebih besar bisa terjadi,” tandasnya.
Ikhsan menegaskan, jangan gara-gara ulah segelintir warga yang mengambil keuntungan dari objek vital, seluruh warga harus menderita.
Untuk diketahui, data terakhir yang dihimpun oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cirebon menyebut, hujan yang terjadi pada Sabtu, 6 Juli 2024 kemarin, menyebabkan 13 desa di wilayah barat Kabupaten Cirebon terdampak banjir.
Dari 13 Desa yang terdampak banjir tersebut, desa terdampak paling parah adalah Desa Jagapura Kulon, Kecamatan Gegesik. Pasalnya, posisi desa tersebut berada dekat dengan sungai yang tanggulnya mengalami jebol hingga menyebabkan ribuan rumah terendam.
Di Desa Jagapura Kulon, jumlah rumah terdampak banjir tercatat sebanyak 2.550 unit. Selain itu, ada satu tempat ibadah dan dua bangunan sekolah yang terendam banjir. Sebanyak 2.818 KK dan 8.454 jiwa terdampak banjir di Desa Jagapura Kulon.
Sementara di Desa Jagapura Lor, sebanyak 636 rumah warga terendam, dan 1.259 KK atau 3.777 jiwa terdampak. Selain itu, ada 2 tempat ibadah, 2 bangunan sekolah, dan 15 hektare sawah yang turut terendam.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.