SUARA CIREBON – Harga beras di pasar tradisional Ciayumajakuning melonjak dalam beberapa hari terakhir. Kenaikan harga beras dipengaruhi sejumlah faktor, salah satunya naiknya biaya produksi dan sulitnya mendapatkan gabah di pasaran.
Hal itu disampaikan salah satu pengusaha beras lokal asal Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Surnita Sandi Wiranata, terkait naiknya harga beras di pasaran, Senin, 16 Juni 2025.
Menurut Sandi, salah satu komponen biaya produksi yang mengalami kenaikan adalah harga sewa alat pertanian combine harvester (alat pemotong dan perontok padi). Alat yang sangat dibutuhkan saat panen itu, dimiliki para tengkulak sehingga harga sewa yang dipatok pun tergolong tinggi.
“Kalau kita perhatikan harga beras saat ini naik, tapi memang biaya produksinya juga sudah tinggi. Biaya operasional, biaya sewa mesin dan pupuk, jadi ketika panen hasilnya itu langsung diserap oleh pemilik mesin combine yang mayoritas asal Jawa. Jadi tiap musim panen itu selalu berebut, sehingga pemain lokal tidak dapat barang (gabah),” ujar Sandi.
Terserapnya hasil panen oleh tengkulak asal Jawa tersebut, menurut Sandi, membuat petani Kabupaten Cirebon dilema. Hal itu disebabkan, para petani merasa telah banyak dibantu mulai dari proses tanam hingga menjelang musim panen.
“Petani merasa dibantu terutama akses permodalan, untuk pupuk dan perawatan padi selama musim tanam kedua. Jadi biaya produksi jelas sangat tinggi sedangkan harga padi cenderung dinilai terlalu murah. Artinya petani tidak ikut menikmati. Praktik-praktik itu yang tidak bisa dihindarkan oleh petani,” ucapnya.
Selain praktik tengkulak pemilik mesin combine, Sandi juga menyebut faktor cuaca turut berpengaruh dalam masa tanam. Menurut dia, cuaca yang cenderung berubah-ubah sangat berdampak terhadap kualitas padi.
“Faktor cuaca juga menjadi penyebab hasil panen menurun. Harusnya sekarang sudah memasuki musim kemarau, tetapi masih sering terjadi hujan dengan intensitas tinggi. Itu sangat berpengaruh ke pertumbuhan padi. Dulu biasanya yang satu hektare bisa menghasilkan padi 6 ton, tetapi sekarang hanya mampu 5,5 ton gabah. Otomatis mengurangi hasil panen dan berdampak kepada kelangkaan gabah,” ujarnya.
Menurut Sandi, kenaikan harga gabah di pasaran seharusnya mencerminkan kondisi yang menguntungkan bagi para petani. Namun, pemerintah perlu memastikan, konsumen juga dapat memperoleh beras dengan harga yang terjangkau dan berkualitas.
“Pemerintah harus hadir di tengah-tengah, petani mendapatkan harga bagus kemudian di konsumen juga masyarakat dapat memperoleh beras dengan harga yang terjangkau dengan kualitas yang baik,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lonjakan harga di beberapa komoditas pangan mulai dari beras hingga cabai pada minggu kedua Juni 2025.
“Beras, bawang merah, cabai merah, cabai rawit, dan daging ayam ras termasuk komoditas yang harga jualnya meningkat di lebih banyak daerah dibanding pekan lalu,” ujar Pudji dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah melalui kanal YouTube Kemendagri, Senin (16/6/2025).
Pudji merinci secara nasional rata-rata harga beras di zona 1 (Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, dan Sulawesi), pada minggu kedua Juni 2025 menjadi Rp 14.900/kg, naik 0,89% dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp 14.151/kg.
Hal serupa juga terjadi pada rata-rata harga beras di zona 2 (Aceh, Sumatera bagian tengah dan timur, NTT, Kalimantan) pada minggu kedua juni 2025 menjadi Rp 15.400/kg yang naik 0,31% jika dibandingkan dengan Mei 2025 sebesar Rp 15.266/kg.
Sementara, harga beras pada zona 3 (wilayah Maluku dan Papua) juga mengalami kenaikan 0,29% pada Minggu kedua Juni 2025 menjadi Rp 19.695/kg dari sebelumnya Rp 15.800/kg pada Mei 2025.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.