SUARA CIREBON – Bale Kabuyutan di Desa Ciledug Wetan, Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon merupakan peninggalan leluhur yang menyimpan sejarah dan makna spiritual cukup kuat.
Terletak di kawasan yang dahulu disebut Pagedangan, hingga kini bangunan Bale Kabuyutan masih berdiri dan terawat.
Berbentuk semacam ranjang besar dengan panjang 5 meter dan lebar 3 meter dan ditopang oleh enam tiang kayu, bukan sekadar bangunan kayu biasa. Permukaan kayunya yang dibalut kain putih merupakan bentuk pelestarian dari gangguan rayap.
Pegiat Budaya Cirebon, Raden Chaidir Susilaningrat, menyebut, bangunan tersebut menjadi saksi bisu lahirnya keyakinan, perubahan keyakinan, dan persentuhan pertama masyarakat lokal dengan ajaran Islam ratusan tahun lalu.
Konon, Bale Kabuyutan dibuat pada abad ke-15, zaman pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan Kabupaten Cirebon.
Pada tahun 1478, setelah Sunan Gunung Jati diangkat sebagai Susuhunan Cirebon Larang, ia membangun Masjid Sang Cipta Rasa bersama Sunan Kalijaga. Sisa kayu dari pembangunan Masjid itu dikirim ke Cirebon Timur, yang oleh Ki Beledug Jaya kemudian digunakan untuk membangun Bale Kabuyutan.
Menurut Raden Chaidir, bangunan tersebut memiliki fungsi penting sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan tokoh masyarakat. Tempat tersebut juga menjadi lokasi pengucapan syahadat bagi masyarakat yang hendak masuk Islam.
Karena fungsinya yang sangat sakral, Bale Kabuyutan juga disebut sebagai Bale Panyumpahan (tempat sumpah). Selain Bale Kabuyutan, di lokasi tersebut pengunjung juga dapat melihat lonceng tua dan gong yang dulunya digunakan sebagai alat penanda atau pemanggil warga, memberikan aura berbeda dan kekunoan tersendiri.
Meski zaman terus berkembang, masyarakat Ciledug tetap menjaga bangunan tersebut secara tradisional. Perawatan dilakukan tanpa mengubah bentuk asli dengan menutup kayu menggunakan kain putih sebagai simbol kesucian dan perlindungan.
Chaidir mengatakan, Bale Kabuyutan bukan hanya peninggalan sejarah, tapi juga pengingat akan proses panjang transisi budaya dan kepercayaan di tanah Cirebon Timur yang harus dikenali oleh generasi muda Cirebon.
“Sebuah jejak yang tak hanya mengajarkan tentang keberanian berpindah keyakinan, tapi juga tentang kedalaman komitmen terhadap pilihan spiritual,” tegasnya.
Cerita bermula dari sosok Raden Layang Kemuning, putra bangsawan Kerajaan Galuh (Pajajaran), yang memilih menyepi di tepi Sungai Cisanggarung. Suatu hari, banjir besar menerjang hingga menyeret tubuhnya hingga terdampar di Pagedangan (kini Ciledug).
Dalam keadaan telanjang dan hanya tertutup sehelai kain, ia siuman dari pingsannya dan memutuskan menetap di tempat itu hingga namanya pun berganti menjadi Ki Melewong. Bujukan untuk kembali ke istana dari sejumlah utusan Galuh tak mengubah pendiriannya untuk menetap di Pagedangan.
Sementara saat itu, perkembangan dakwah Islam di wilayah Cirebon cukup pesat. Sejumlah tokoh seperti Pangeran Walangsungsang dan Sunan Gunung Jati, putra Rara Santang dan Syarif Abdullah dari Mesir, kemudian melebarkan area dakwa ke wilayah timur.
Ketika para tokoh tersebut datang ke wilayah Cirebon Timur, disambut hangat oleh Ki Melewong dan para pengikutnya. Dalam sebuah peristiwa sakral, Ki Melewong pun bersumpah setia memeluk Islam di hadapan Pangeran Walangsungsang.
Namun tiba-tiba langit gelap dan petir menyambar tubuhnya. Ajaibnya, tubuh Ki Melewong tetap berdiri tegak dan tak goyah sedikit pun. Sejak saat itu, ia dikenal dengan nama baru yakni Ki Beledug Jaya, dan tempat kejadian tersebut hingga kini dinamakan Beledug.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.