SUARA CIREBON – Sejumlah masyarakat di Kabupaten Cirebon menggelar tradisi Rebo Wekasan yakni Rabu terakhir bulan Safar dalam penanggalan Hijriah. Tradisi tersebut, dimulai sejak matahari terbenam Selasa, 19 Agustus 2025 sore hingga matahari terbenam, Rabu, 20 Agustus 2025 sore.
Di beberapa desa, seperti Desa Trusmi Kecamatan, Plered Kabupaten Cirebon dan sekitarnya, Rabu Wekasan ditandai dengan tradisi tawurji, yakni anak-anak berkeliling ke rumah tetangga meminta sedekah sambil berteriak “tawurji” sehabis Magrib, Selasa, 19 Agustus 2025 petang.
Pemilik rumah pun akan memberikan sedekah uang kepada anak-anak yang mendatangi rumahnya, sebagai bentuk tolak bala. Hal itu karena, tradisi Rebo Wekasan merupakan salah satu upaya yang dilakukan masyarakat Cirebon dalam meraih keberkahan sekaligus menolak bala.
Tradisi Rebo Wekasan juga digelar pihak Keraton Kasepuhan Cirebon. Ratusan warga bahkan rela memadati halaman Keraton Kasepuhan Cirebon untuk mengikuti tradisi curak sedekah atau tawurji dalam rangka memperingati Rebo Wekasan, Rabu, 20 Agustus 2025.
Patih Sepuh Keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Goemelar Soeryadiningrat, bersama keluarga besar Keraton Kasepuhan, membagikan uang kertas, koin, hingga permen kepada masyarakat.
Warga yang sudah menunggu sejak siang hari pun antusias berebut saweran, meski harus berdesak-desakan.
“Alhamdulillah cuma dapat Rp5.000. Bagi saya tidak masalah saling dorong karena ini sudah jadi tradisi. Uangnya saya pakai buat jajan, sisanya disimpan sebagai jimat,” ujar Jana, warga Pulasaren, Kota Cirebon, yang ikut berebut uang curak.
Sebelum prosesi curak dimulai, keluarga besar Keraton terlebih dahulu menggelar doa bersama di Langgar Alit. Setelah itu, barulah sedekah ditaburkan kepada masyarakat.
Patih Goemelar Soeryadiningrat, menjelaskan tradisi Rebo Wekasan memiliki dua keutamaan penting.
“Pertama, sebagai momentum bersedekah kepada sesama. Kedua, sebagai ajang silaturahmi antara keluarga besar Keraton Kasepuhan dengan masyarakat,” ujar Gugum, sapaan akrab Patih Goemelar.
Gugum menambahkan, tradisi curak atau tawurji merupakan warisan para Wali Sanga yang ingin menanamkan nilai-nilai keislaman melalui sedekah dengan cara yang membumi.
“Yang kita sawer tadi ada uang koin, uang kertas, dan permen. Semua ini menjadi simbol berbagi keberkahan,” katanya.
Keluarga besar Keraton Kasepuhan bersama masyarakat melanjutkan tradisi makan apem di Langgar Alit, yang juga diyakini sebagai simbol kebersamaan dan doa agar terhindar dari marabahaya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.