DEMI mengubah kehidupan dan masa depan yang lebih baik, maka ratusan kilometer transmigran asal Kecamatan Ngandon Kabupaten Boyolali menempuh perjalanan untuk menuju lokasi transmigrasi yang terletak UPT Rumbiya Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Namun harapan itu kandas setelah bus yang ditumpanginya tergelincir dan masuk Sungai Sewo, di Desa Sukra, Kabupaten Indramayu.
Naas, bus yang tergelincir itu sesaat kemudian terbakar. Sebanyak 67 penumpangnya menjadi korban dari peristiwa mengerikan yang terjadi 44 tahun yang lalu.
Musibah yang terjadi pada pukul 04.30 WIB dini hari tersebut, terjadi pada salah satu bus dari enam buah bus yang akan berangkat ke tempat transmigrasi di Sumsel. Kejadian ini mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 67 orang yang terdiri dari orang dewasa dan anak-anak. Di antara rombongan yang mengalami musibah, terdapat tiga orang anak-anak selamat yang kemudian diangkat sebagai anak angkat keluarga besar transmigrasi mereka adalah Jaelani, Suyanto, dan Sangidu.
Korban tewas semuanya dimakamkan di dekat pemakaman umum yang terletak dekat lokasi kejadian. Itulah sepenggal kisah tragis yang memilukan yang terjadi pada 11 Maret 1974 silam, yang merenggut nyawa dari para pionir pembangunan transmigrasi.
Pada Senin (10/12/2018) di Monumen Makam Pionir Pembangunan Transmigrasi Desa Sukra dilakukan ziarah untuk kembali mengenang kejadian itu. Nampak dalam kegiatan tersebut Dirjen Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi, Kemendes PDTT, Hari Pramudiono, dan Sekretaris Daerah Kab. Indramayu, Ahmad Bahtiar, Kepala SKPD, Camat, anggotaTNI/Polri, dan peserta ziarah lainnya, serta tiga orang yang selamat pada kejadian 1974 silam yakni Jaelani, Suyanto dan Sangidu.
Dirjen Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi, Kemendes PDTT, Hari Pramudiono mengatakan, ziarah ini penting dilakukan untuk kembali mengingat kejadian penting dalam sejarah pembangunan transmigrasi di Indonesia.
“Mereka yang meninggal di tempat ini merupakan kelompok warga pertama yang akan diberangkatkan ke lokas itransmigrasi petama kali di Indonesia. Mereka adalah pionir pembangunan transmigrasi,” kata dia dalam keterangannya.
Sementara Sekretaris Daerah Kabupaten Indramayu, Ahmad Bahtiar mengatakan, di era saat ini, transmigrasi masih bisa dijadikan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan sosial bagi daerah yang memiliki kepadatan penduduk sangat tinggi. Namun demikian, tidak semua orang bisa memahami akan pentingnya transmigrasi akan tetapi pihaknya tetap optimis program transmigrasi bisa menjadi salah satu solusi mengatasi sosial lainnya.
Di tempat yang sama Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Indramayu, Sri Wulaningsih, melalui kepala Bidang Pelatihan,Produktivitas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nonon Citra Wulandari mengatakan, untuk tahun 2018 program transmigrasi dari Kabupaten Indramayu hanya memberangkatkan 5 kepala keluarga. Hal ini sesuai dengan kuota yang telah ditentukan oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI. Para transmigran tersebut diberangkatkan ke Kabupaten Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tengah.
“Minat masyarakat Indramayu sebenarnya sangat tinggi untuk bertransmigrasi, cuma karena kuota yang telah ditentukan dan daerah tujuan juga sudah ditentukan oleh pusat maka kita memberangkatkan lima orang saja pada tahun ini,” ujar Citra. (D. Majid)