Oleh: Husein Fauzan Putuamar
*)Trainer for District Training Zero Population Growth (ZPG)
MEMASUKI dasawarsa 1970-an, hampir semua pengambil kebijaksanaan negara di dunia terutama negara berkembang termasuk Indonesia mulai mengkhawatirkan terjadinya eksplosi penduduk. Barangkali, kekhawatiran itu berkenaan dengan teori Thomas Robert Maltus dalam bukunya Essay on The Principles of Population bahwa populasi dunia bertambah menurut deret ukur (1,2,4,8,16 dan seterusnya), sedangkan produksi pangan bertambah menurut deret hitung (1,2,3,4,5 dan seterusnya).
Gambaran ketimpangan antara pertumbuhan penduduk di satu pihak dengan sumber daya alam di pihak lain, semakin mendapat perhatian, terutama setelah dipublisir adanya isu global Limits to Growth, hasil penelitian kelompok MIT (Massachuttes Institut of Technology) yaitu suatu kelompok kerja dari Roma, yang mengemukakan dalam bahasa sederhana bahwa kekenderungan-kecenderungan pembangunan yang dilakukan oleh umat manusia seperti dilakukan pada masa lampau, maka pertumbuhan bumi ini akan melampaui batas-batas kemampuan. Sehingga akan mengalami bencana dalam beberapa generasi mendatang (kiamat ?). Kelompok MIT tersebut meneliti secara global dengan model komputer terhadap pertumbuhan di bumi, yang meliputi pertumbuhan penduduk, pengadaan pangan, penggunaan sumber alam, pengembangan industri dan moneter, serta polusi dengan segala dampaknya.
Apabila diamati secara seksama, sebab utama bencana itu logis merupakan sebab akibat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, disamping timbulnya egoisme dan keserakahan umat manusia. Barangkali banyak benarnya pepatah yang mengatakan bahwa bumi ini bukan warisan nenek moyang, melainkan pinjaman anak cucu kita.
Berbicara kependudukan di Indonesia, sekurang-kurangnya memiliki lima karakteristik. Pertama, jumlah penduduk yang besar. Kedua, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Ketiga, besarnya penduduk usia non produktif. Keempat, distribusi penduduk yang tidak merata. Kelima, tingkat urbanisasi yang tinggi.
Proses Kelahiran ZPG
Melihat kondisi kependudukan Indonesia dengan segala kecenderungan permasalahannya, muncul sekelompok mahasiswa di Yogyakarta, menyodorkan konsep pemikiran yang mendasar dikalangan generasi muda. Dengan tujuan agar para generasi muda “melek” terhadap penanggulangan kependudukan dan masalah-masalah yang diakibatkannya.
Ide yang diawali dengan obrolan-obrolan ringan, forum-forum dialog, kemudian diangkat menjadi forum diskusi dikalangan organisasi mahasiswa, terutama oragnisasi ekstra kurikuler.
Langkah awal, kira-kira Bulan April 1973, Organisasi BAKOPMADA (Badan Kerjasama Organisasi Pelajar dan Mahasiswa Daerah seluruh Indonesia), salah satu organisasi yang ada di Yogyakarta menyelenggarakan diskusi panel tentang partisipasi pemuda dalam menanggulangi masalah kependudukan di Indonesia. Diskusi yang temanya diusulkan pengurus BAKOPMADA, yang akhirnya menjadi pendiri organisasi ZPG, dihadiri tokoh mahasiswa, BKKBN Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lembaga Kependudukan IKIP Negeri Yogyakarta, Lembaga Kependudukan UGM dan para pejabat pemerintah dilingkungan DIY. Hasil diskusi menyimpulkan bahwa pemuda perlu berpartisipasi aktif dalam persoalan kependudukan.
Isu pro dan kontra dikalangan para mahasiswa terhadap kesimpulan itu semakin menghangat, ketika kesimpulan itu hendak diangkat menjadi program aksi. Namun reaksi tersebut justru jadi motivasi para pemuda penggagas diskusi tersebut.
Dengan mengintensifkan kegiatan lanjutan, dibarengi bekal itikad dan semangat serta idealisme tinggi, akhirnya membuahkan suatu organisasi mahasiswa yang berbentuk gerakan (bukan massa). Dengan nama Gerakan Mahasiswa untuk Pengendalian Pertumbuhan Penduduk, yang merupakan terjemahan dari istilah Zero Population Growth (ZPG). Nama itu diambil dari sebuah gerakan di Amerika Serikat sebagai wadah yang bergerak dalam bidang kependudukan. Walau ada kesamaan nama tapi tidak memiliki hubungan formal organisatoris, kecuali kemitraan. ZPG Indonesia adalah suatu gerakan mahasiswa yang memperjuangkan pengendalian penduduk di Indonesia yang sesuai dengan norma agama dan budaya Indonesia.
Dalam memperkuat eksistensinya, para pendiri mencari dukungan ke berbagai lembaga. Tanggapan pertama datang dari Direktur Lembaga Kependudukan UGM Dr. Masri Singarimbun. Menyusul kemudian BKKBN Pusat Dr. Haryono Suyono selaku Deputy III (mantan Menko Kesra dan Taskin). Dukungan berikutnya dari Dr. Does Sampurno dari Pathfinder Fund yang berkedudukan di Jakarta bersedia menjadi konsultan.
Dengan modal dukungan, para pendiri yang disponsori empat orang mahasiswa dari tiga perguruan tinggi di Yogyakarta, masing-masing Marsudi Sudjak dan A. Muchlis dari UGM, A. Halim Falatehan dari IAIN (sekarang Direktur SMK PUI Cirebon), dan A. Rahim Jibran dari UII (almarhum), memberanikan diri menandatangani statement peresmian secara formal yang dihadiri unsur perguruan tinggi, para pejabat pemerintah, para tokoh masyarakat, yang ditandatangani pula oleh Dr. Haryono Suyono atas nama Kepala BKKBN Pusat pada Bulan Juni 1973. Statement itu berbunyi :
- Menyadari bahwa generasi muda Indonesia terlibat langsung didalam proses pembangunan nasional Bangsa Indonesia menuju ke arah pri kehidupan masyarakat yang lebih dan makin sejahtera, maka kami generasi muda Indonesia bertekad melaksanakan partisipasi sebagai bentuk tanggung jawab sosial kami dalam proses pembangunan bangsa.
- Masalah kependudukan sebagai salah satu fase pembangunan nasional merupakan problem yang pemecahannya akan menjadi salah satu faktor penentu bagi berhasilnya peningkatan kesejahteraan sosial, karenanya mengundang partisipasi generasi muda didalam usaha pemecahannya.
- Meyakini bahwa partisipasi efektif bisa dilaksanakan dengan melalui usaha teratur, kontinyu, dan berencana, maka dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami melaksanakan partisipasi dalam organisasi “STUDENT MOVEMENT FOR ZERO POPULATION GROWTH” (Gerakan Mahasiswa untuk Pengendalian Pertumbuhan Penduduk).
Ide dasar yang dicetuskan para pendiri ZPG itu secara garis besar meliputi:
Later, yaitu pengunduran (memperlambat) usia kawin pertama atau kini lebih ditekankan pada istilah pendewasaan usia kawin. Program aksi ini diarahkan pada para pemuda yang akan memasuki jenjang perkawinan diharapkan berusia 25 sampai 30 tahun untuk laki-laki, perempuan 20 sampai 25 tahun. Apabila dengan sangat terpaksa melakukan perkawinan dibawah usia itu (terutama perempuan), diharapkan dapat hamil dan melahirkan anak pada interval usia tersebut.
Longer, yaitu memperpanjang jarak antara kelahiran pertama dan kelahiran kedua. Atau dalam interval usia 20 sampai 30 tahun (masa sehat untuk melakukan reproduksi), hanya ada satu anak balita (bawah lima tahun).
Smaller, yaitu memperkecil jumlah anggota keluarga secara ideal, dengan semboyan stof after two children.
Better, yaitu meningkatkan kualitas. Bukan setelah dua anak lalu berhenti, tetapi bagaimana keluarga itu mampu meningkatkan kulitasnya dalam mengisi kehidupan.
Secara implisit, ide dasar (later, longer, smaller, dan better) yang menjadi program aksi itu terkandung makna keluarga kecil berkualitas terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan dua orang anak (catur warga). Ternyata, ZPG sejak dini telah “meneriakkan” catur warga, saat pemerintah belum mengampanyekan, karena ketika itu masih “dikibarkan” slogan tiga anak. ZPG telah menggagas “dua anak cukup” sejak lama, saat pemerintah belum memprogramkan. Ini bukti sejarah yang tidak dapat dibantah kebenarannya.
Sesuai dengan namanya, ZPG mengharapkan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan sampai pada tingkat nol (zero). Dalam perjalanannya, wadah gerakan ini tidak terlalu mementingkan kerapihan dan ketertiban administrasi, keanggotaaan yang terikat, seperti organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Gerakan ini cukup memerlukan kader untuk mempengaruhi public opinion, khususnya sikap generasi muda. Tidak terpaku pada kegiatan ceremonial, tetapi lebih mengarah pada program nyata.
Organisasi dengan sifat sukarela dan non profit, dalam perkembangannya bergeser dan memperluas identitas dirinya menjadi organisasi pemuda. Dalam percaturan organisasi kepemudaan, pada tahun 1985, ZPG ikut andil memasukkan satu alinea dalam Pernyataan Pemuda menyambut Tritura, yang isinya: “Setiap pemuda Indonesia harus membudayakan catur warga dalam mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS), dengan tekad nyata untuk menyukseskan Program Keluarga Berencana (KB). Dan secara aktif dengan menunda usia perkawinan, serta mengambil peran aktif untuk menggalakkan program aksi KB di tengah-tengah masyarakat”. Pernyataan tersebut ditandatangani bersama oleh organisasi pemuda seperti KNPI, AMPI, Pemuda Pancasila, GP Ansor, FKPPI dan sebagainya.
Ide dasar berani dan cemerlang yang dicetuskan itu, kiranya perlu mendapat dukungan semua pihak, terutama para remaja, baik berperan sebagai obyek, terlebih lagi sebagai subyek. Kedepan, persoalan kependudukan Indonesia kiranya dapat dikendalikan dengan baik, sehingga Indonesia menjadi penduduk tumbuh seimbang atau penduduk tanpa pertumbuhan untuk kesejahteraan rakyatnya. Semoga ! Wallahu a’lam.***