SUMBER, SC- Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Kabupaten Cirebon mencatat, sedikitnya ada enam peristiwa penolakan pemulasaraan jenazah pasien terkonfirmasi positif corona menggunakan protokol Covid-19, sejak wabah itu merebak Maret 2020 lalu.
Ketua Bidang Relawan Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Cirebon, Iwan Ridwan Hardiyawan, mengakui banyaknya penolakan warga itu akibat belum meluasnya sosialisasi. Pihaknya menyayangkan adanya aksi penolakan yang semestinya tidak terjadi tersebut, karena Satgas penanganan Covid-19 sudah terbentuk hingga tingkat desa se-Kabupaten Cirebon.
Iwan menyebut, pemahaman yang kurang lengkap terhadap penerapan protokol kesehatan dalam pemulasaran jenazah juga berdampak pada timbulnya kesalahpahaman informasi yang diterima. Namun, menurutnya, adanya beberapa konflik tersebut sebagai dinamika dalam proses pemulasaran jenazah Covid-19.
“Terakahir penolakan warga terjadi di Rumah Sakit Arjawinangun. Namun setelah dijelaskan tim satgas secara rinci yang melibatkan TNI dan polisi, akhirnya warga memahami. Jumlah kasus penolakan sejak awal pandemi tidak lebih 6 kasus,” kata Iwan, Senin (9/11).
Ia menjelaskan, banyaknya penolakan oleh masyarakat itu karena saat jenazah dinyatakan positif Covid-19, dinilai bisa berdampak pada tatanan sosial.
“Makanya, sosialisasi tentang pemulasaran harus secara jelas diterangkan bagi masyarakat. Soalnya Covid-19 itu bukan aib, melainkan masyarakat harus saling menguatkan satu sama lain dan memberikan dukungan bagi keluarga yang terpapar,” kata Iwan.
Terkait pemulasaran, lanjut Iwan, sudah jauh-jauh hari hal itu bisa dilakukan secara terbuka. Pihak keluarga diperbolehkan untuk melihat bahkan dipersilakan ikut memandikan jenazah, supaya tidak ada tuduhan pemulasaran yang tidak sesuai syariat agama.
“Kalau aturan sekarang, pada saat titik ambulans pengangkut jenazah sampai, maka pengangkut jenazah tidak perlu menggunakan hazmat lagi, cukup pakai masker dan sarung tangan,” jelas Iwan.
Sementara itu, Tim Dokter Forensik Satgas Penanganan Covid-19, dr Riza Rivani menjelaskan, ketika jenazah Covid-19 sudah masuk ke dalam peti, memang harus segera dikuburkan.
“Ketika dia (pasien) meninggal ada jeda waktu 24 jam. Karena proses pembusukan kan dalam kurun waktu 1 hari atau 24 jam, takutnya bau terus kulitnya mengelupas. Kalau sebelum 24 jam dia sudah masuk peti ya segera dikubur. Kalau di peti itu sudah aman,” kata Riza.
Ditambahkan Riza, bagi keluarga ataupun kerabat ingin ikut menyalatkan jenazah terkonfirmasi positif Covid-19, memang diperbolehkan. Karena jenazah yang bersangkutan sudah aman.
“Cuma kan jangan terlalu lama juga dipeti, setelah disalatkan langsung dikuburkan,” imbuhnya.
Dalam kasus lain, imbuh Riza, pihak keluarga yang ingin memindahkan jenazah Covid-19 dari pemakaman umum ke pemakaman keluarga juga diperbolehkan. Akan tetapi, ketika akan dipindahkan, lamanya jenazah di dalam kuburan harus sudah mencapai tiga bulan.
“Tapi kalau misalnya hasil PCR jenazah itu belum keluar tapi sudah dikuburkan secara Covid-19, kemudian hasil swabnya negatif maka pihak keluarga boleh memindahkan jenazah itu pada saat itu juga,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, puluhan warga Desa Bayalangu Kidul, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon menggeruduk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arjawinangun, Minggu (8/11).
Mereka menolak pemulasaran jenazah salah seorang kerabatnya dilakukan menggunakan protokol Covid-19, meski hasil swab menunjukkan pasien positif terpapar virus mematikan tersebut. (Islah)