KOTA CIREBON, SC – Perebutan pengelolaan Gunungsari Trade Center (GTC) antara dua perusahaan, PT Prima Usaha Sarana (PUS) dengan PT Toba Sakti Utama (TSU) belum berakhir, keduanya saling klaim sebagai pengelola GTC.
Komisaris PT PUS, Wika Tendean akhirnya muncul ke publik, setelah selama ini ia diwakilkan oleh kuasa hukumnya. Pada kesempatan itu Wika membeberkan awal mula pembangunan gedung GTC.
Diceritkan Wika yang juga sebagai Direktur PT TSU, bahwa pertemuan Wika dengan Frans terjadi pertama kali pada tahun 2003. Pada dasarnya pertemuan saat itu terjadi dikarenakan Wika bermaksud untuk meminta bantuan kepada Frans untuk melakukan pekerjaan pengurukan lahan yang akan digunakan Wika untuk digunakan pabrik.
“Singkat cerita, setelah saya dan Frans ada kedekatan hubungan baik , pada saat itu Frans sedang mengalami kesulitan dana terkait proyek penyelesaian jalan tol, tanpa pikir panjang Frans meminta bantuan kepada saya secara finansial sebanyak Rp20 miliar,” kata Wika saat konferensi pres, Rabu (25/11/2020).
Sebagai rekan yang baik, Wika pun memberikan pinjaman dana tersebut kepada Frans. “Di luar dugaan, ternyata Frans mengalami kesulitan untuk membayar dana pinjaman tersebut kepada saya,” sambungnya.
Lanjut Wika, saat itu, Frans menawarkan proyek bulid operate transfer (BOT) kepada Wika sebagai solusi terhadap kesulitan pembayaran pinjaman yang dialaminya.
“Bahwa proyek tersebut ditawarkan oleh Frans kepada saya dengan timbal balik berupa keuntungan yang akan didapat di kemudian hari yang juga dapat dipergunakan untuk menutupi macetnya pembayaran dana pinjaman terdahulu oleh Frans. Namun, dikarenakan proyek tersebut lagi-lagi mengalami kesulitan dana dan kondisi proyek saat itu baru berbentuk pondasi, Frans lagi-lagi meminta suntikan dana tambahan kepada saya dengan alasan agar kelangsungan proyek tersebut tetap berjalan lancar,” tuturnya.
Untuk memuluskan sisa pembangunan proyek yang mengalami kekurangan dana dan tidak dapat dibangun oleh PT TSU, menurut Wika, atas saran dan masukan dari Frans, maka dibentuklah suatu perseroan baru yaitu PT PUS pada 20 Mei 2020.
“Kembali lagi atas saran Frans, saya diberikan jabatan sebagai komisaris PT PUS dan Frans sebagai Direktur PT PUS dengan komposisi kepemilikan saham 50:50. Namun, pada kenyataannya komposisi tersebut tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya dikarenakan Frans sama sekali tidak pernah menyetorkan modal ke PT PUS dengan besaran tersebut,” ujar Wika.
Kemudian, dilanjutkanlah proyek yang sempat tertunda di GTC tersebut dengan biaya pembangunan dari PT PUS.
“Bahwa di dalam proses pembangunan ini, seluruh dana yang dikeluarkan murni berasal dari dana pribadi saya. Saya tidak menyanggah bahwa terdapat sedikit dana yang ditanamkan oleh Frans sebesar Rp 1.250.000.000. Setelah proyek GTC selesai dibangun, saya menagih janji kepada Frans terkait hak saya atas proyek GTC dikarenakan saya telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit yaitu sebesar Rp 10 miliar,” ujarnya.
BACA JUGA: Buntut Konflik Dua PT, GTC Terancam Ditutup
Untuk meyakinkannya, menurutnya, di tahun 2012 Frans selaku direktur dari PT TSU melakukan pengoperan hak kepada PT PUS yang dalam hal ini juga diwakili oleh Frans selaku Direktur PT PUS.
“Adapun yang dialihkan adalah hak atas keseluruhan yang tertuang dalam BOT antara Perumda Pasar Berintan dengan PT TSU kepada PT PUS,” katanya.
Wika juga menegaskan, pengoperan hak dari PT TSU kepada PT PUS jelas telah dilakukan melalui akta notaris, sehingga PT PUS berhak untuk mengelola secara keseluruhan GTC, dan bukan hanya pengelolaan manajemen semata seperti apa yang selalu diucapkan Frans.
“Akta perjanjian pengoperan hak nomor 4 tanggal 9 Oktober 2012 sangat jelas diuraikan objek yang dialihkan. Isi perjanjian tersebut telah dirinci dengan jelas, maka suatu produk hukum berupa perjanjian pengoperan hak telah berlaku secara sah dan mengikat sehingga sudah sepatutnya untuk dihormati oleh para pihak pembuat perjanjian tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan, saat dibuat akta notaris tersebut pun, Frans tidak memberikan keterangan terhadapnya bahwa dalam perjanjian antara Perumda Pasar Berintan dengan PT TSU terdapat klausul yang tidak memperbolehkan adanya pengoperan hak.
Kuasa Hukum Wika Tendean, Ferry Ramadhan menambahkan, atas dasar itu, Wika pun melaporkan Frans kepada Polres Cirebon Kota atas keterangan palsu pada data autentik.
“Pada 24 September 2020 kami telah melaporkan Frans atas keterangan palsu pada data autentik. Ia tidak memberikan keterangan benar saat dibuat akta notaris pengoperan hak dari PT TSU kepada PT PUS, bahwa tidak boleh ada pengoperan hak dari PT TSU kepada pihak lain berdasarkan perjanjian dengan Perumda Pasar Berintan,” kata Ferry Ramadhan.
Saat ini, menurut Ferry, proses di Polres Ciko masih tahap pemanggilan saksi dan pengumpulan bukti tambahan.
“Sejak awal kami tidak pernah mengetahui ada klsusul perjanjian tentang tidak boleh memindahtangankan dari PT TSU kepada pihak lain. Notaris pun tidak mengetahuinya,” ujarnya.
BACA JUGA: GTC Resmi Ditutup Sementara
Ferry menduga kenapa Frans mengajak Wika untuk membangun GTC, karena pemegang kontrak pembangunan GTC bisa didenda jika tak kunjung melakukan pembangunan.
“Kuat dugaan, Frans ingin menghindari penalti denda karena tak kunjung membangun, maka diajaklah Pak Wika untuk membangun,” katanya. (Surya)