Hal tersebut disampaikan Sekjen FSPMI, Moch. Machbub melalui press rilisnya yang diterima Suara Cirebon, kemarin. Oleh karena itu, menurut Machbub, dalam aksi May Day kemarin, para pekerja sektor kelistrikan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Elektronik Elektrik FSPMI (SPEE FSPMI) pun memprotesnya.
“Harusnya nilai THR yang akan diberikan sesuai aturan, yakni full seratus persen,” kata Machbub.
Kendati demikian, kata pria yang juga Ketua Serikat Pekerja PT Haleyora Powerindo ini, menginstruksikan untuk tetap menjaga kondusivitas di lingkungan kerja masing-masing. Sembari menunggu berapa besaran THR yang akan dikirim atau dibayarkan pihak perusahan.
“Jangan ada hal hal yang dapat merugikan perusahaan. Ketika perusahaan terbukti mengurangi nilai THR, tidak sesuai dengan upah yang biasa tiap bulan diterima, kita akan melakukan langkah-langkah hukum,” tegas Machbub.
Menurut pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Tim Nasional OS PLN SPEE FSPMI ini, dasar hukum dan mekanisme pemberian THR sebenarnya sudah diatur oleh Pemerintah Pusat, yakni Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Ketentuan pemberian THR diatur dalam Pasal 6 yaitu Tunjangan Hari Raya Keagamaan termasuk pada pendapatan non-upah. Kemudian pada pasal 7, THR kegamaan, wajib diberikan oleh pengusaha kepada buruh/pekerja dan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya kegamaan.
“Bahwa pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 bulan upah,” ujarnya.
Maka atas dasar hukum yang telah diuraikan di atas baik anak perusahaan maupun vendor-vendor yang ada di lingkungan PLN dalam menerapkan perhitungan THR keagamaan, tahun 2021 yang mengacu pada PERDIR PLN NO. 0219 hanya sebatas Upah Minumum Kota/Kabupaten ditambah Tunjangan Masa Kerja (TMK) adalah salah dan keliru.
“Dalam Perdir tersebut ada dua komponen upah, yang termasuk tunjangan tetap setiap bulan yang diterima pekerja akan hilang. Yaitu Tunjangan Kompetensi dan Delta, komponen tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan THR sehingga nilai THR menjadi tidak sama dengan nilai upah yang biasa tiap bulan diterima,” jelasnya.
Kalau sumber kegaduhan tentang pembayaran THR yang tidak full satu bulan ini bersumber dari masing-masing vendor, maka pihak PLN harus bertindak tegas kepada vendor nakal tersebut. Sebaliknya apabila sumber kegaduhan ini dari pihak PT. PLN melalui PERDIR No. 0219 maka Perdir tersebut cacat hukum.
“Tidak berpedoman pada peraturan di atasnya, baik PP 78 tahun 2015, Permenaker No.6 Tahun 2016 maupun SE Menaker Tahun 2021,” tandasnya.
BACA JUGA: Buruh Konsisten Tolak Omnibuslaw
Mestinya, tambah dia, perusahaan plat merah memberikan contoh yang baik bagi perusahaan swasta lainnya dalam perhitungan THR tahun 2021.
“Kami sudah diperas oleh isi UU Cipta Kerja dan turunannya, masa THR mau ikut-ikutan dikurangi juga. Sekali lagi kalau memang pengurangan THR ini benar-benar terjadi, kami akan mengambil upaya-upaya hukum lainnya dan melaporkan hal ini ke Kementrian BUMN serta Kementrian Ketenagakerjaan,” pungkasnya. (Joni)