PROSES penyembuhan setelah trauma yang dialami oleh seseorang agar bisa terus melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang kejadian buruk yang menimpanya biasa disebut dengan ‘Trauma Healing’.
Mulanya, trauma bisa terjadi karena berbagai kejadian, seperti bencana alam, pemerkosaan, kejahatan dalam rumah tangga (KDRT), penyakit atau cedera parah, hingga kematian orang yang disayangi.
Namun pada umumnya, kalangan anak-anaklah yang rentan mengalami trauma, depresi, perasaan tertekan dan was-was, karena mereka belum mampu mengontrol emosi sepenuhnya. Oleh karena itu, upaya trauma healing sangat penting dilakukan kepada mereka (korban).
Hal itu diutarakan oleh Konselor sekaligus Dosen Jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI) IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Herny Gusbrava, M.Pd., CH., CHt., CNLP., kepada Suara Cirebon. Menurutnya, trauma healing sangat penting diberikan kepada korban pasca bencana atau hal buruk lainnya guna mereduksi kecemasan tinggi dalam dirinya yang mengakibatkan trauma.
“Tidak sedikit mereka mengalami kedukaan yang sangat dalam (grief) karena kematian orang tuanya atau keluarganya dikarenakan bencana yang menimpa mereka. Hal itu tentu memililiki dampak terhadap psikologis korban,” paparnya kepada Suara Cirebon, Senin (24/5/2021).
BACA JUGA: Wow.. IAIN Cirebon Semakin Diminati, Jumlah Pendaftar Jalur UM-PTKIN Meningkat Lebih dari 100 Persen
Menurut perempuan yang biasa disapa Herny ini, trauma ada yang dihadapkan pada fase inisial respon. Pada fase ini, korban mengalami penolakan terhadap realita, sehingga menimbulkan kemarahan yang meluap.Tentunya, jika tidak ditangani segera dan diselesaikan akar masalahnya maka aktulisasi dirinya akan terhambat, di sinilah peran konselor maupun psikolog sangat dibutuhkan.
“Seorang konselor maupun psikolog perlu memililki kesigapan dan empati dalam memberikan pertolongan mental kepada korban. Mereka perlu diselamatkan jiwanya agar mampu menata hidup kembali dengan penuh optimisme,” tukasnya.
Trauma healing, kata Herny, akan berjalan dengan efektif jika konselor mampu melakukan penghampiran yang baik atau dengan attending psycaly, observing, dan listening.
“Jika konselor mampu melakukan penghampiran yang baik maka dapat menghindari resistensi dari korban (konseli) terhadap konselor. Dalam pemberian trauma healing diperlukan tahapan-tahapan sesuai dengan psikologis konseli itu sendiri,” katanya.
Adapun tahapan-tahapanny adalah; pertama ada tahap inisial respon. Pada tahap ini konselor mengarahkan konseli berada di fase penerimaan realita, karena pada fase ini dalam diri korban (konseli) berada pada kondisi penolakan dan kemarahan yang meluap. Hingga perlu diberikan treatmen monitoring pikiran, perasaan dan tindakan.
Pada fase ini baik konselor maupun korban bencana saling bertukar peran di mana dihadapkan pada situasi bencana hingga praktik mengendalikam monitoring pikiran, perasaan dan tindakan.
BACA JUGA: Indeks Pendidikan Kabupaten Cirebon Urutan ke-25 dari 27
“Tahap kedua, yaitu tahap intermediate. Jika korban bencana berhasil melewati tahap inisial respon dengan kesadaran maka berikutnya ia akan berada di tahap bargaining (tawar menawar), kemudian beralih pada penerimaan diri,” ujarnya.
Kemudian tahap ketiga, yaitu tahap recovery. Pada tahap ini konselor perlu melatih konseli untuk melakukan self talk guna menghadapi trauma dengan cara berdamai. Hal ini tidaklah mudah namun seorang konselorpun harus cermat melihat kondisi psikologis korban bencana terkait dengan self talk negatif maupun self talk positif dalam dirinya.
“Sehingga konselor mampu mengarahkan korban bencana mendapatkan pencerahan hidup kembali,” cetusnya.
Pada tahap recoverypun, sangat diperlukan sentuhan spiritual hingga konseli mampu memahami dan menyadari bahwa semuanya adalah ketetapan dari-Nya (Allah) dan selalu ada hikmah dari semua peristiwa. (Yusuf/SC)