KUNINGAN, SC- Rencana pembukaan energi geothermal di Kabupaten Kuningan yang digulirkan sejak tahun 2011 memicu pro dan kontra dari sejumlah elemen.
Salah seorang pemerhati dan pegiat lingkungan, Meiki W. Paendong yang juga Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, menerangkan tentang apa itu geothermal. Menurutnya, meski energi geothermal itu dikategorikan sebagai energi yang ramah lingkungan, namun dari aspek lingkungan masih memiliki dampak buruk.
“Pada proses pembangunannya memberikan dampak juga. Sebab biasanya, energi panas bumi itu berada di kawasan hutan konservasi yang diatur dalam undang-undang. Maka hal itu tidak boleh sembarangan masuk hutan itu,” ujar Kang Meiki kepada wartawan, melalui sambungan telepon Sabtu (21/11/2021).
Sementara untuk membangun sumur, sambungnya, diperlukan membuka jalan akses ke sumur dengan jalan aspal. “Dan hal itu membuka peluang untuk kerusakan hutan. Yang tadinya orang susah ke hutan, begitu dibuka jalan, maka perambah hutan atau pemburu akan begitu mudah masuk ke dalam hutan, dan hal itu akan berdampak pada lingkungan. Ini memicu banyak perambahan hutan dan perburuan liar, seperti yang sudah terjadi di Pengalengan, Kamojang, Gunung Papandayan, Wayang Windu ” papar Kang Meiki.
Selain itu, kata dia, ada dampak yang lain dari tekhnologi geothermal, yaitu pengambilan air tanah secara besar-besaran untuk menginjeksi. “Ibaratnya uap air yang diinjeksi gas memunculkan suatu efek panas untuk menggerakan turbin yang dikonversi menjadi arus listrik,” jelasnya.
Kemudian, sambungnya, pengambilan air tanah besar-besaran dan saat injeksi itulah yang berpotensi memicu adanya fenomena gempa bumi lokal. “Jadi ada getaran gitu, ada efek geologi di dalamnya, karena uap bumi itu disuntik air terus menerus bukan diambil. Nah hal itu mengeluarkan gas panas, dari proses itulah menimbulkan getaran geologi di permukaan, orang sekitar menyebutnya gempa bumi lokal,” paparnya.
Dampak lainnya adalah dampak sosial, yaitu mudahnya orang membuka atau menjadikan lahan terbuka menjadi lahan pertanian dan sebenarnya hal itu tidak diperkenankan bagi hutan konservasi.
“Dengan pengambilan air secara besar-besaran juga berdampak pada potensi kekeringan dan hilangnya mata air apabila sumber mata air oleh geothermal yang dipakai sama persis dengan yang dipakai warga,” ungkapnya.
Rusaknya kawasan hutan juga akan berdampak pada iklim mikro. Sebab secara perlahan berkurangnya pepohonan maka akan menyebabkan perubahan cuaca yang semakin memanas.
Pihaknya pun tidak sepakat dengan adanya pembangunan geothermal di Ciremai, bila dilihat dari sisi lingkungan. Karena menimbulkan banyaknya dampak-dampak sosial dan lingkungan yang terjadi ke depannya.
“Karena yang sudah-sudah keberadaan geothermal itu banyak. Tapi jangan dianggap remeh seperti alasan bisa diatasi dengan amdal, dengan alasan bisa ditanggulangi,” ujarnya.
Jika alasannya adanya pembangunan energi geothermal untuk pemenuhan energi listrik di Jawa Barat, Direktur Walhi Jabar ini, mengatakan kebutuhan energi di Jawa Bali sudah surplus 3000 Mega Watt.
“Kita kan sudah kelebihan energi, kenapa Pemkab Kuningan tetap memaksakan, dan tidak melihat ke dampak lingkungan dan sosial, karena kita harus melihat ke peristiwa yang sudah-sudah,” tegasnya.
Ia pun meminta kepada pemerintah provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Kuningan, tidak menganggap remeh efek pembangunan energi sumber panas bumi geothermal.
Dilansir dari dunia-energi.com, pemerintah akan melakukan eksplorasi total di 20 wilayah panas bumi dengan potensi sumber daya mencapai 1.844 megawatt (MW) dan rencana pengembangan hingga 683 MW. Rincinya, wilayah panas bumi Lokop di Aceh, Sipoholon Ria-Ria di Sumatera Utara, Gunung Endut di Banten, Guci di Jawa Tengah, Gunung Batur-Kintamani di Bali, Sembalun di Nusa Tenggara Barat, Sajau di Kalimantan Utara, Jailolo di Maluku Utara, dan Banda Baru di Maluku.
BACA JUGA: Jembatan Citonjonga akan Dibangun Permanen
Kemudian, pengeboran eksplorasi juga dilakukan di Nage dan Maritaing di Nusa Tenggara Timur, Bora Pulu dan Marana di Sulawesi Tengah, serta Bituang dan Limbong di Sulawesi Selatan. Di Jawa Barat, pengeboran ini dilakukan di Cisolok Cisukarame, Gunung Galunggung, Gunung Tampomas, Gunung Ciremai, serta Gunung Papandayan.
Dalam hal itu Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), mengungkapkan total anggaran untuk pengeboran eksplorasi yang disiapkan pemerintah pada 2021 mencapai Rp420 miliar.
Pengeboran yang dibiayai pemerintah bertujuan mengurangi risiko pengembangan panas bumi yang harus ditanggung ditanggung pengembang. (Nung)