REKTOR Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon, Dr H Sumanta Hasyim MAg menegaskan, transformasi kelembagaan kampus setempat dari IAIN menjadi universitas berbasis siber mengarusutamakan konsep moderasi.
Seperti diketahui, saat ini, kampus keagamaan negeri satu-satunya di wilayah III Cirebon itu sedang berproses untuk bertransformasi dari IAIN menjadi universitas. Namun ada yang istimewa, transformasi menjadi universitas kampus keagamaan kebanggaan masyarakat Cirebon dan sekitarnya ini tidak hanya universitas biasa, melainkan berbasis siber.
Tranformasi terbut bernama Universitas Islam Siber Syekh Nurjati Indonesia (UISSI). Pembelajarannya pun melalui full daring. Tentu saja dalam proses pembelajaran maupun pelayanan di kampus ini dilengkapi dengan teknologi dan infrastruktur yang serba canggih. Lebih membanggakan lagi, UISSI ini menjadi kampus satu-satunya di Indonesia yang menerapkan sistem seperti itu.
Namun, kata Sumanta, kendati sedang berproses untuk bertransformasi menjadi kampus yang dilengkapi kecanggihan teknologi, kampus ini adalah lembaga perguruan tinggi negeri di Cirebon yang akan terus berupaya mewujudkan tujuan kampus dengan tidak meninggalkan kearifan lokal yang ada. Yaitu dapat menginternalisasikan nilai-nilai luhur dari budaya Cirebon ke dalam lembaga perguruan tinggi.
“Transformasi tersebut bukan hanya tentang keunggulan dalam pemanfaatan teknologi semata, namun juga dapat menjadi lembaga yang berhasil mempertalikan agama dengan nilai kebudayaan lokal melalui cara pandang yang moderat,” tutur rektor saat membuka Dialog Budaya Keagamaan bertema “Kesultanan Nusantara dan Moderasi Beragama”, Sabtu (25/9/2021).
Bahkan, Menteri Agama (Menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan, penguatan kehidupan beragama yang moderat dapat mewujudkan moderasi beragama sebagai jalan tengah dari dua kutub ekstrem kanan dan kiri.
Untuk itu, imbuh dia, perlu dicarikan formula yang tepat untuk dua kutub tersebut. Pasalnya, menurut Yaqut, perbedaan agama dan keyakinan jika tidak dikelola dengan baik, maka dapat berpotensi menimbulkan masalah sosial.
“Seperti penutupan paksa tempat ibadah, penyerangan rumah warga, karena mayoritas dan minoritas, dan lain sebagainya,” terang dia.
Oleh karena itu, jelas Yaqut, diperlukan upaya-upaya dari semua pihak melalui pendekatan kultural yang tepat. Sehingga, moderasi beragama pun bisa dijalankan dengan baik.
“Salah satu pendekatan budaya dalam pelaksanaan moderasi beragama adalah memberikan ruang dan peran di Kesultanan Nusantara,” ujar dia.
Sementara itu, Kepala Balitbang Diklat Kemenag RI, Prof Achmad Gunaryo memaparkan, melalui Dialog Budaya Keagamaan bertema “Kesultanan Nusantara dan Moderasi Beragama” yang dilaksanakan berkat kerja sama Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI dengan IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini, pihaknya ingin mengingatkan kembali warisan budaya di masa lalu.
Warisan tersebut, dia menerangkan, hubungan ulama dan umara yang terjalin dengan indah yang sudah menjadi budaya. Bahkan, dari hal tersebut telah menghantarkan Indonesia menjadi bangsa yang terkenal dengan keramahtamahan dan sopan santunnya.
“Kita semua tentu sadar bahwa kita bagian dari bangsa yang memiliki sejarah yang begitu eksotik, semuanya serba moderat. Sehingga sejarah itu tidak boleh hilang, itu harus dimunculkan kembali. Dan kegiatan ini adalah sebuah upaya untuk memunculkan kembali kesadaran itu,” terangnya.
Bahkan, Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Prof M Arskal Salim GP menegaskan, perguruan tinggi keagamaan saat ini begitu aktif menyuarakan moderasi.
“Peran perguruan tinggi sangat aktif, selain membuat rumah moderasi beragama, juga mengembangkan materi ajar untuk memperkuat rasa toleransi, rasa kerukunan, cinta damai, dan juga yang paling penting menolak kekerasan. Saya rasa itu peran penting dari perguruan tinggi kita hari ini,” terangnya.
Untuk itu, dia menambahkan, melalui kegiatan dialog tersebut, pihaknya mencoba melihat hubungan yang harmonis antara budaya di nusantara dengan agama-agama di Indonesia. Bahkan, kata Arskal, sesungguhnya agama yang dimaksud tersebut bukan hanya Islam, tetapi juga agama-agama lainnya yang ada di Indonesia.
“Maka dengan kegiatan ini kami mencoba mensinergikan kekuatan di masyarakat terutama para kesultanan yang juga menjadi stakeholder dalam penguatan moderasi beragama. Nah, dengan acara ini kita mencoba melihat ruang-ruang mana saja yang bisa kita kontribusi bersama untuk melakukan terobosan moderasi beragama,” tandasnya. (Arif)