CIREBON, SC- Cirebon merupakan kota dengan mata rantai historis yang menarik, terutama dari sisi sosiokultural keagamaan. Selain itu, Cirebon juga menjadi bagian penting dari proses panjang sejarah Islam di Indonesia. Hal tersebut pada gilirannya menjadikan Cirebon sebagai salah satu pusat penyebaran Islam sekaligus pusat budaya di Jawa Barat.
Hal itu seperti diungkapkan, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon, Dr H Sumanta Hasyim MAg dalam acara pembukaan Dialog Budaya Keagamaan hasil kerjasama Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI bekerjasama dengan kampus setempat, Sabtu (25/9/2021).
Kegiatan yang diselenggarakan di salah satu hotel di wilayah Cirebon ini bertema “Kesultanan Nusantara dan Moderasi Beragama” dan dilaksanakan selama 3 hari, yaitu Sabtu-Senin (25-27/9/2021).
Maka, lanjut Rektor, tak mengherankan jika para ahli berpendapat, bahwa untuk memahami kebudayaan masyarakat Cirebon tidak dapat dilepaskan dari Islam yang telah berperan dalam membentuk kebudayaan itu.
“Pernyataan di atas menjadi suatu keniscayaan bahwa Cirebon memiliki keragaman budaya sebagai kekayaan sosial berupa nilai-nilai kebudayaan yang luhur,” ujarnya.
BACA JUGA: Buka Dialog Budaya Keagamaan, Menag RI: Moderasi Jalan Tengah Beragama
Oleh sebab itu, Sumanta menegaskan, diperlukan proses transmisi melalui dialog-dialog kebudayaan yang bertujuan untuk mengkristalisasi warisan nilai-nilai kebudayaan tersebut. Selain itu, dalam prosesnya juga dibutuhkan pula penelaahan terhadap peran Islam sebagai agama mayoritas. Karena, bagaimanapun terdapat akulturasi antara tradisi yang membudaya dengan agama itu sendiri.
“Seperti telah kita ketahui bersama, proses Islamisasi berlangsung lama di Cirebon. Dan Islam di Cirebon, seperti juga di daerah lain di Indonesia, menjadi agama yang bukan hanya menyediakan sistem keyakinan dan peribadatan, juga sistem relasi sosial yang memiliki fungsi mendasar sebagai pembentuk “moral community”, salah satunya melalui bentuk kesultanannya,” terang rektor.
Sumanta menjelaskan, Kesultanan Cirebon dicetuskan dengan sangat moderat, khususnya dalam konsep cipta ekspresi religi. Hal tersebut dapat terlihat dari bagaimana Sunan Gunung Jati sebagai pionir Kesultanan Cirebon mengkonsepsi ajaran-ajaran Islam yang dapat menyesuaikan kondisi sosial budaya masyarakat Cirebon pada saat itu.
Oleh sebab itu, rektor memaparkan, memaknai agama dalam konteks ke-Cirebon-an, setidaknya harus menyertakan 3 dimensi dasarnya, yaitu dimensi keyakinan beragama, prinsip praktik keagamaan, dan dimensi pengalaman beragama.
“Karena bagaimanapun agama sebagai realitas sosial, paling tidak memiliki tiga corak pengungkapan. Yaitu sebagai sistem kepercayaan, sistem persembahan, dan sistem hubungan sosial. Dan hal terakhir menjadi standing point, di mana Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang majemuk memerlukan perumusan sekaligus aktualisasi yang riil dari konsep moderasi beragama,” tuturnya.
Selain itu, Sumanta menerangkan, sebagai kultur builder (pembangunan) setiap agama, termasuk Islam memiliki tinggalan budaya yang perlu dilestarikan dan dipelihara. Karena, pada hakikatnya hal itu merupakan kekayaan yang harus diwariskan sebagai Khazanah keagamaan.
Pasalnya, menurut rektor, khazanah keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari warisan budaya. Semua bentuk peninggalan tersebut terkait dengan beragam aspek keberagamaan. Mulai dari aspek keyakinan, pengalaman ritual, pengetahuan, tata ajaran, artefak keagamaan, serta segenap objek produk hubungan sebab akibat antara agama dan aspek lainnya.
“Karena bagaimanapun, khazanah keagamaan pada gilirannya menjadi karakteristik penting bagi peradaban suatu bangsa,” ujarnya.
BACA JUGA: Puslitbang Kemenag RI dan IAIN Cirebon Gelar Dialog Budaya Keagamaan
Dari pernyataan di atas, Sumanta menegaskan, IAIN Syekh Nurjati Cirebon sebagai lembaga perguruan tinggi negeri yang ada di Cirebon berupaya maksimal untuk dapat menginternalisasi nilai-nilai luhur dari budaya Cirebon ke dalam lembaga perguruan tinggi.
Bahkan, rektor mengungkapkan, dalam transformasi kelembagaan dari IAIN menjadi universitas berbasis siber juga mengarusutamakan konsep moderasi.
“Harapannya, transformasi tersebut bukan hanya tentang keunggulan dalam pemanfaatan teknologi semata, namun juga dapat menjadi lembaga yang berhasil mempertalikan agama dengan nilai kebudayaan lokal melalui cara pandang yang moderat,” tandasnya. (Arif)