Oleh : Drs. A. Halim Falatehan, MM, ME.
*) Mantan Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Cirebon
PENULIS sebagai warga negara di NKRI yang demokratis berdasar Pancasila dan UUD 1945 tertarik untuk urun rembug dalam riuhnya kegaduhan elite politisi di Pusat masalah aspirasi yang berkeinginan mengundurkan pelaksanaan Pemilu 2024 dan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Alasan ketertarikannya menurut analisis sementara penulis sepertinya masalah itu sederhana, hanya berpangkal dari perbedaan penafsiran dalam proses penyaluran aspirasi dari mulai penyerapannya sampai dengan ditetapkannya menjadi program Pemerintah.
Dalam sub i pasal 108 dan 161 UU no.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan pasal 81 UU no. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, anggota DPR/ D berkewajiban menyerap aspirasi dari konstituennya dan menghimpunnya. Selanjutnya dalam sub j pasal-pasal tersebut diwajibkan untuk menampung dan menindak lanjutinya.
Dengan kemungkinan banyaknya aspirasi yang terhimpun dan harus ditindak lanjuti maka secara logika harus ada tahapan yang ditempuh untuk memroses penyaringan aspirasi tersebut yang diperkirakan seperti tahapan berikut :
I. DIAWALI PENYERAPAN ASPIRASI DAN MENGHIMPUNNYA.
II. ASPIRASI DITAMPUNG DI BANK ASPIRASI
III. MENINDAK LANJUTI DENGAN PENYARINGAN ASPIRASI
IV. DITETAPKAN SEBAGAI PROGRAM PEMERINTAH
Satu kelompok menganggap aspirasi itu setelah diserap langsung dihimpun dan ditindak lanjuti oleh wakil rakyat untuk dijadikan program Pemerintah; Seperti apapun isinya dan seberapa penting urgensinya yang namanya aspirasi bisa dijadikan usulannya untuk dijadikan program Pemerintah.
Misalnya Veteran pengelola “Saritem” di Bandung dan warga “Dolly” di Surabaya sebagai konstituen menyampaikan aspirasinya untuk kepentingan kesejahteraannya yang lebih baik dengan cara membangun kembali dua kompleks tersebut maka harus dipertimbangkan untuk dapat disetujuinya menjadi program Pemerintah. Hal demikian dianggap benar menurut kelompok ini, karena ada kewajiban menyerap, menghimpun, dan menindak lanjuti aspirasi konstituen sebagaimana tercantum dalam UU tersebut di atas.
Kelompok lainnya menganggap perlunya mempertimbangkan terlebih dahulu materi aspirasi yang biasanya terbagi tiga kelompok. Pertama aspirasi yang merupakan kebutuhan dasar konstituen misalnya usulan keluarga nelayan miskin yang mengajukan permohonan bantuan pembelian jaring tangkap ikannya, atau usulan suatu pesantren untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya. Apabila tidak dibantu bisa menimbulkan gangguan terhadap kesejahteraan warga nelayan dan pesantren.
Kedua aspirasinya merupakan keinginan konstituen, bukan kebutuhan dasarnya seperti pemasangan wify massal di suatu wilayah. Hal itu penting dan diperlukan, tetapi apabila tidak ada wify massal itu kesejahteraan konstituen tidak terganggu. Tentu lebih rendah prioritasnya dibanding prioritas aspirasi kebutuhan dasar.
Yang ketiga aspirasi yang tidak terkait langsung dengan kepentingan keluarga konstituen seperti pembuatan pos keamanan atau sosialisasi pemahaman arti kebhinnekaan dalam kelompok kecil masyarakat desa terpencil yang homogen penduduknya. Dua hal itu bisa dianggap penting dan diperlukan juga untuk keamanan dan kesatuan bangsa. Tetapi mungkin masih ada pilihan kegiatan lain yang perlu diprioritaskan daripada kegiatan itu seperti peningkatan usaha kecil dan hubungan social kemasyarakatannya.
Dalam memproses penyerapan aspirasi inilah terjadi beda penafsiran, atau mungkin juga dengan sengaja dibuat alasan untuk memenuhi selera kepentingan dan politik wakil rakyat. Oleh karenanya agar tercapai kesamaan penapsiran dalam menghadapi banyaknya aspirasi yang disampaikan kepada wakil rakyat di DPR/ D, maka diperlukan tahap penyaringan yang disepakati bersama sesuai ketentuan yang berlaku.
Hasil analisis Penulis langkah pertama yang harus dilakukan dalam proses penyaringan umum terhadap aspirasi adalah keharusan mengaitkannya dengan Sumpah/ Janji wakil rakyat. Setiap wakil rakyat pasti melalui Sumpah/ Janji yang diucapkannya. Dalam setiap Sumpah/ Janji pasti menyatakan kewajiban untuk taat dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Ini sangat mendasar dan pasti sama kepedulian seluruh warga negara terhadapnya.
Dua komponen ini pasti telah dijadikan Sumpah di hadapan Tuhannya dan Janji di hadapan rakyat, Pemerintah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya tidak boleh ada pilihan lain kecuali setiap wakil rakyat wajib loyal kepada Pancasila dan UUD 1945. Dengan tahap penyaringan ini wakil rakyat diuji, apakah dia benar-benar tetap siap melaksanakan sumpah dan janjinya atau mengikuti godaan untuk melanggarnya. Maka seluruh aspirasi yang terhimpun di Bank Aspirasi harus dinilai cermat dengan kaca mata yang bersih dan tajam sejauh mana kesesuaiannya dengan Pancasila dan UUD 1945. Aspirasi yang tidak lolos dalam penyaringan ini tidak bisa mengikuti penilaian berikutnya.
Sesudah lolos dari penyaringan umum ini setiap aspirasi dinilai spesifik, untuk menentukan rankingnya. Yang pertama dengan tinjauan sejauh mana keterkaitannya dengan kebutuhan dasar konstituen yaitu pangan, sandang, papan, Pendidikan, Kesehatan, pekerjaan, dan sosial. Pemenuhan kebutuhan dasar ini pasti dimasukkan dalam setiap Program lima tahun Pemerintah, karena setiap pejabat pasti terikat dengan UU atau Perpres tentang Pencepatan Penanganan fakir miskin. Aspirasi yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar memperoleh nilai paling tinggi.
Penyaringan untuk menentukan ranking berikutnya aspirasi yang bukan kebutuhan dasar konstituen, tetapi terkait dengan keinginan keluarga konstituen. Contohnya aspirasi kelompok konstituen yang mengusulkan dipasangnya wify massal di setiap RW/ RT. Kebutuhan ini bisa saja dikategorikan kebutuhan konstituen, tetapi tidak secara langsung, karena apabila tidak terpenuhi kesejahteraan konstituen tidak terganggu.
Penilaian berikutnya diarahkan kepada aspirasi untuk kepentingan umum. Seperti gardu ronda atau solokan mampet, itu merupakan kebutuhan umum. Untuk mengatasi masalah ini tidak hanya dari kebaikan wakil rakyat, tetapi banyak pihak yang dapat membantu. Mungkin penilaian ini masih terbuka untuk didiskusikan, karena perbedaan orientasinya. Apabila berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan keluarga, maka kepentingan keluarga dinilai tinggi, tetapi apabila berorientasi kepada kesejahteraan umum maka kepentingan umum lebih diutamakan dengan nilai yang lebih tinggi. Pendapat penulis lebih menyetujui peningkatan kesejahteraan keluarga, karena merekalah sasaran utama pembangunan kesejahteraan rakyat negara kita.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyerapan, penghimpunan, dan penilaian aspirasi untuk ditindak lanjutinya menjadi program Pemerintah merupakan kewajiban wakil rakyat. Sebelum dijadikan program Pemerintah harus terlebih dahulu dinilai dari segi kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Apabila tidak lolos dalam penyaringan ini bidang apapun aspirasinya dan seberapa besar pengaruhnya, maka tidak boleh dilanjutkan menjadi program Pemerintah. Hanya yang telah lolos dalam penyaringan pertama saja yang bisa dilanjutkan dengan penilaian spesifik, terkait dengan kebutuhan dasar konstituen, bukan kebutuhan dasarnya, kebijakan Pemerintah, dan yang terakhir kebutuhan umum masyarakat.***