SUARA CIREBON – Rasulullah Muhammad adalah manusia yang berhati mulia. Tidak pernah berkata kasar, apalagi mendendam, bahkan kepada orang yang bertindak tidak terpuji terhadapnya.
Selain Rasulullah, Nabi-nabi utusan Allah SWT juga memberi teladan akhlak mulia. Selalu berturut kata halus dan sopan, meski terhadap orang-orang yang tidak menghormati dan merendahkannya.
Selain Rasulullah, berikut kisah akhlah mulia para Nabi terhadap orang-orang yang membencinya, yakni Nabi Nuh dan Nabi Hud.
Inilah kisah ahklah mulia para Nabi. Kisah ini merupakan percikan Ramadhan yang bisa menjadi pegangan kita pentingnya menjaga akhlak mulia, terutama selama menjalankan ibadah puasa.
Nabi Nuh dan Nabi Hud selalu bersikap rendah hati, bertutur kata halus, tak pernah sedikitpun menyimpan dendam terhadap orang-orang yang membencinya, dan bahkan membasetiap las cacian dengan pujian.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata
ما خير رسول الله ﷺ بين أمرين قط إلا أخذ أيسرهما، ما لم يكن إثما، فإن كان إثما كان أبعد الناس منه. وما انتقم رسول الله ﷺ لنفسه في شيء قط، إلا أن تنتهك حرمة الله، فينتقم لله تعالى. متفق عليه
“Rasulullah tidak pernah dihadapkan dengan dua pilihan, kecuali beliau akan mengambil hal yang paling mudahnya. Jika hal itu dosa, justru beliau orang yang paling jauh darinya. Rasulullah juga tidak pernah balas dendam (atau marah) karena urusan dirinya sedikit pun, kecuali ketika batasan-batasan Allah sudah dilanggar, maka beliau akan marah karena Allah”. [Muttafaq ‘alaih]
Sebuah pelajaran berharga dari akhlak mulia para nabi, Allah abadikan kisah mereka di dalam Kalam-Nya.
Allah sebutkan tentang nabi-Nya, Nuh ‘alaihis salam.
﴿قَالَ ٱلۡمَلَأُ مِن قَوۡمِهِۦۤ إِنَّا لَنَرَىٰكَ فِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینࣲ قَالَ یَـٰقَوۡمِ لَیۡسَ بِی ضَلَـٰلَةࣱ وَلَـٰكِنِّی رَسُولࣱ مِّن رَّبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ﴾ [الأعراف ٦٠-٦١
“Para pemuka dari kaumnya berkata:
‘Sesungguhnya kami memandangmu benar-benar berada di dalam kesesatan yang nyata’. Maka dia (Nuh) menjawab: ‘Wahai kaumku, sungguh tidak ada kesesatan padaku, justru aku adalah utusan dari Rab semesta alam’.” [Q.S. Al A‘raf: 60-61]
Kemudian Allah sebutkan juga tentang nabi-Nya setelah Nuh, Nabi Hud ‘alaihis salam,
﴿قَالَ ٱلۡمَلَأُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ مِن قَوۡمِهِۦۤ إِنَّا لَنَرَىٰكَ فِی سَفَاهَةࣲ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ ٱلۡكَـٰذِبِینَ قَالَ یَـٰقَوۡمِ لَیۡسَ بِی سَفَاهَةࣱ وَلَـٰكِنِّی رَسُولࣱ مِّن رَّبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ﴾ [الأعراف ٦٦-٦٧]
“Para pemuka dari kaumnya yang kafir itu berkata:
‘Sesungguhnya kami memandangmu benar-benar bodoh, dan kami meyakinimu adalah orang pendusta’. Maka dia (Hud) menjawab: ‘Wahai kaumku, sungguh aku bukan orang yang bodoh, justru aku adalah utusan dari Rab semesta alam’.” [Q.S. Al A‘raf: 66-67]
Lihatlah dua nabi Allah yang mulia ini. Tidak ada kata-kata kotor yang keluar dari lisannya dalam membalas tuduhan kaumnya, walau hanya sekadar membalas dengan ucapan serupa.
Begitu pula junjungan kita, Baginda Nabi. Bahkan aplikasi nyata telah menghiasi pribadi dan keseharian beliau di dalam kehidupannya.
Dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim, Aisyah menceritakan peristiwa ketika Nabi berdakwah ke Thaif.
Beliau mendatangi Abdu Yalil Ats Tsaqafi yang kemudian beliau didustakan dan berakhir dengan diusirnya beliau.
Di saat-saat sedih yang melanda di perjalanannya, datanglah Jibril dan malaikat penjaga gunung kepada beliau menawarkan agar menimpakan dua gunung Mekkah kepada penduduk Thaif.
Tutur yang indah keluar dari lisan mulia tersebut menjawab tawaran malaikat tadi,
“Bahkan yang aku harapkan kelak Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”.
Simak lagi satu hadits berikut.
Anas radhiyallahu ‘anhu bercerita,
“Aku berjalan bersama Rasulullah dan beliau mengenakan kain selendang Najran yang tebal ujungnya, lalu ada seorang Arab badui, langsung ditariknya selendang beliau dengan kuat, akupun melihat permukaan bahu beliau membekas lantaran ujung selendang yang tebal akibat tarikan yang kasar.
Arab badui tersebut berkata;
“Wahai Muhammad berikan kepadaku dari harta yang diberikan Allah padamu”, maka Rasulullah menoleh kepadanya diiringi senyum kemudian memerintahkan agar badui tadi diberikan sesuatu”. [Muttafaq ‘alaih]
Lihatlah akhlak mulia ini, Nabi tidak membentaknya dan memarahinya…! Jangankan itu, cemberut saja tidak dilakukan oleh Nabi !
Allahu Akbar!!!
Sebagai penutup, simak penuturan Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam nasehatnya
فما انتقم أحد لنفسه قط إلا أعقبه ذلك ندامة
“Tidaklah orang itu membalas (atau marah) karena unsur pribadi, melainkan pasti dia akan merasakan akibat penyesalan setelahnya”.
[Madārijus Sālikīn, 2/303].***