SUARA CIREBON – Seorang anak meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki hutang puasa. Lalu apakah orang tua bisa mengganti atau meng-qodho-nya.
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Universitas Muhammadiyah (UMC), Dr Arief Hidayat Afendi SHI MAg menjelaskan, ada beberapa pendapat mengenai orang yang meninggal memiliki utang puasa.
“Sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang tidak bisa menanggung puasa orang lain. Sebagian ulama yang lain berpendapat walinya wajib berpuasa sejumlah hari yang ditinggalkan yang telah meninggal,” jelas Arief Hidayat.
Di antara pendapat para ulama tersebut yaitu:
1. Imam Syafi’i berpendapat walinya wajib membayarkannya mud’
2. Imam Malik berpendapat walinya tidak wajib berpuasa dan tidak juga membayar mud, kecuali jika ada wasiat.
3. Imam Abu Hanifah berpendapat walinya wajib berpuasa (sejumlah hari yang ditinggalkan), apabila tidak puasa maka wajib membayar fidyah 1 mud.
4. sebagian ulama berpendapat bahwa apabila yang ditinggalkan itu puasa nazar, maka walinya wajib mempuasainya. Apabila puasa fardhu (Ramadhan), maka walinya tidak wajib berpuasa.
Sebab adanya perbedaaan pendapat tersebut, yaitu adanya pertentangan antara qiyas dengan hadits.
Hadits Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang meninggal dunia dengan mempunyai tanggungan puasa, maka walinya wajib mempuasainya.” (Muttafaq ‘Atqihi. HR. Al Bukhari (1952), Muslim (1147), Abu Daud (2400), Ahmad (6/69).
Dengan demikian, Arief Hidayat memaparkan, jika ada orang meninggal dengan berutang puasa maka walinya mengganti puasanya dengan puasa di luar bulan Ramadan atau dengan fidyah 1 mud setiap hari yang ditinggalkan.
Hal ini sesuai juga dengan hadits lain: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya, ‘Wahai, Rasulullah! Ibuku telah meninggal dunia, dia mempunyai tanggungan utang puasa sebulan, apakah saya boleh mengqadha puasa tersebut?’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Seandainya ibumu mempunyai utang, apakah kamu yang menanggungnya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Ya.’ Lalu Rasulullah bersabda,’Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan”. (Muttafaq ‘Alaihi. Al Bukhari (1953), Muslim (1148), Abu Daud (3310). Wallahu A’lam Bishawab.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.