SUARA CIREBON – Kasus Vina Cirebon yang kini tengah memasuki tahap pengajuan PK (Peninjauan Kembali) oleh enam terpidana, jauh lebih parah dibandingkan kasus Sengkon dan Karta di tahun 1974 lampau.
Masalah hukum yang dialami para terpidana kasus Vina Cirebon, juga lebih berat dibandingkan apa yang dialami Sengkon dan Karta, dua petani asal Bojongsari, Bekasi.
Meskipun baik terpidana kasus Vina Cirebon maupun Sengkon dan Karta sama-sama mengalami penderitaan akibat penyiksaan keji yang dilakukan polisi, namun persoalan hukum yang membelit Rivaldi Cs lebih rumit.
“Masalah yang dihadapi terpidana dalam kasus Vina Cirebon lebih berat dan rumit dibandingkan kasus Sengkon dan Karta di tahun 1970an.” tutur ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amril.
Kasus Sengkon dan Karta, relatif lebih sederhana konstruksi hukumnya. Ini jauh berbeda dengan konstruksi hukum kasus Vina Cirebon yang dialami para terpidana.
Ada perbedaan sangat mendasar yang membuat kasus Vina Cirebon lebih rumit dibandingkan kasus Sengkon dan Karta.
Pada kasus Sengkon dan Karta, masalah mendasarnya clear. Tidak ada yang meragukan bahwa kedua petani miskin di tahun 1974 itu dengan kasus pembunuhan.
Kasusnya yang menjerat Sengkon dan Karta jelas, ialah pembunuhan. Ada korbannya, jejak-jejak pembunuhannya sangat jelas.
Masalah dalam kasus Sengkon dan Karta hanyalah pada pembuktian. Majelis hakim hanya mempercayai Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kepolisian, lalu menjatuhkan pidana kepada Sengkon selama 12 tahun dan Karta 7 tahun.
Sama dengan yang dialami kasus Vina Cirebon, petani Sengkon dan Karta juga mengalami penyiksaan keji. Meski keduanya tidak pernah mengakui perbuatannya, namun palu hakim diputuskan menjatuhkan hukuman untuk keduanya.
Di belakang hari, ketika Senkon dan Karta ditahan di LP Cipinang, bertemu dengan seorang narapidana bernama Gunel. yang ketika itu juga menghuni LP karena kejahatan pencurian.
Merasa iba dengan nasib Sengkon dan Karta, Gunel lalu berterus terang. Dia mengaku bahwa yang membunuh pasangan suami istri H Sulaeman dan Siti Haya di Bekasi adalah dirinya bersama seorang temannya.
Gunel mengaku dirinyalah yang merampok rumah Sulaeman, seorang juragan kaya di Bekasi. Dia mengaku terpaksa membunuh, sebab ketika masuk ke rumah, ternyata tepergok oleh Sulaeman dan Siti Haya. Karena teperok, Gunel terpaksa membunuh keduanya.
Pengakuan Gunel ini yang membuat Sengkon dan Karta akhirnya bebas. Ketika itu, Kejaksaan Negeri (Kejari) Bekasi yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan novum pengakuan Gunel untuk membebaskan Sengkon dan Karta.
Karena kasus Sengkon dan Karta ini, kemudian dunia peradilan Indonesia, sampai hari ini, mengenal fasilitas hukum lain yang nemanya Peninjauan Kembali atau PK.
“Dalam kasus Sengkon dan Karta, yang mengajukan PK itu pihak kejaksaan. Novumnya pengakuan Gunel. Sengkon dan Karta akhirnya bebas,” tutur Reza Indragiri.
Kasus Sengkon dan Karta sampai hari ini menjadi kasus yang melegenda. Terutama bila ada masalah hukum yang berkaitan dengan PK, seperti kini dilakukan para terpidana Kasus Vina Cirebon dari mulai Saka Tatal sampai enam terpidana yang proses sidangnya masih berjalan.
Kasus Vina Cirebon lebih rumit
Berbeda dengan Sengkon dan Karta, kasus Vina Cirebon jauh lebih rumit. Sebab hal mendasarnya tidak jelas, setidaknya setelah ada putusan hakim sampai tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) bahwa para terpidana dinyatakan salah dan divonis seumur hidup.
“Sampai sekarang, kasus Vina Cirebon tidak jelas. Apakah pembunuhan atau kecelakaan,” tutur Reza Indragiri.
Jika merujuk pada kasus pembunuhan, dengan perkembangan kontroversinya sampai sekarang, mulai timbul keraguan. Bahkan dari sejumlah fakta yang muncul, justru lebih mengarah kepada kecelakaan tunggal sebagai penyebab kematian sejoli Eky dan Vina.
Jika merujuk pada kasus kecelakaan, kasus pembunuhannya sendiri telah memiliki kekuatan hukum sampai tingkat kasasi MA, artinya sudah inkracht, kendati masih ada pengujian lewat PK.
Sampai hari ini, secara legal formal, kasus Vina Cirebon adalah pembunuhan, lalu disertai pemerkosaan merujuk pada putusan hakim baik di Pengadilan Negeri Kota Cirebon, Pengadilan Tinggi Jawa Barat hingga Kasasi MA.
“Meskipun sejak awal saya meragukan (pembunuhan dan pemerkosaan) karena tidak ada bukti scientific yang mendukung, kecuali hanya berdasar pada pengakuan tersangka. Itupun kita tahu ada dugaan penyiksaan yang dialami para terpidana di tahun 2016,” tutur Reza Indragiri.
Para terpidana sendiri, baik di sidang tahun 2016, maupun yang terungkap dalam sidang PK, membantah melakukan pembunuhan, apalagi pemerkosaan.
Para terpidana juga mencabut seluruh BAP. Bahkan dikuatkan oleh munculnya banyak saksi baru, termasuk saksi lama yang juga menyatakan mencabut BAP tahun 2016 seperti Liga Akbar dan Dede Riswanto.
Kini, sidang PK telah berlangsung. Dari pengakuan saksi baru maupun lama, sebenarnya makin terang-benderang apa sesungguhnya penyebab kematian sejoli Eky dan Vina di fly over Kepompongan, Talun, Kabupaten Cirebon pada Sabtu malam 27 Agustus 2016 lalu.
Kasus ini, sangat bergantung pada keterbukaan hati dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan para hakim agung di MA yang menentukan putusan sidang PK.
“Saya malah sebenarnya berharap, dalam kasus Vina Cirebon alangkah eloknya kalau justru Polri yang mengajukan PK. Jika kasus Sengkon dan Karta pihak kejaksaan yang mengajukan PK, saya berharap di kasus Vina Cirebon, Polri yang mengajukan PK, meskipun PK para terpidana melalui Peradi juga tetap berjalan,” tutur Reza Indragiri.
Jika PK diajukan pihak Polri sebegaimana harapan Reza Indragiri, maka akan bermunculan novum yang justru muncul dari internal kepolisian pada proses penangkapan, penahanan hingga penyidikan baik di Polres Ciko maupun Polda Jabar di tahun 2016 lalu.
Kasus Vina Cirebon lebih rumit karena tidak ada Gunel yang akhirnya membongkar fakta sebenarnya dalam kasus Sengkon dan Karta. Sangat diragukan muncul seorang Gunel yang mengaku melakukan pembunuhan, sementara kasus pembunuhannya juga diragukan.
Bahkan nama-nama Daftar Pencarian Orang (DPO) seperti Andi, Dani dan Pegi alias Perong yang disebut sebagai pelaku utama, juga sangat diragukan keberadaannya. Wajar bila Polda Jabar menilai tiga DPO itu tidak ada alias fiktif.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.