KABUPATEN CIREBON, SC- Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Cirebon Raya mencatat, angka kekerasan seksual di Wilayah III Cirebon paling tinggi terjadi di Kabupaten Cirebon. Tercatat, sepanjang perjalanan tahun 2022 ini, sudah ada 15 kasus di Kabupaten Cirebon. Dari jumlah tersebut, 75 persennya merupakan kejahatan seksual.
Ketua Komnas PA Cirebon Raya, Siti Nuryani, mengaku miris dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Cirebon. Menurutnya, kasus tersebut paling tinggi terjadi di tahun 2020 yang mencapai 35 kasus.
Karena itu, pihaknya meminta pembahasan Raperda tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) di legislatif, jangan terburu-buru. Pasalnya, sepanjang pembahasan di legislatif, Komnas PA tidak dilibatkan.
BACA JUGA: Wabup Cirebon: Gawai Sumbang Angka Kekerasan Anak
“Kami hanya memantau perkembangan dari luar. Sebagai lembaga independen, kita yang tahu persis di lapangan seperti apa kondisi korban,” kata Siti.
Meski sejauh ini pihaknya sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan DPRD, namun menurutnya, poin harus banyak ditekankan dan difokuskan pada anak-anak. Mengingat kekerasan terhadap anak angkanya memang luar biasa.
“Kami menyayangkan, karena poin-poin yang ingin kami usulkan belum tersampaikan. Setidaknya, ketika kita dilibatkan, kita bisa ikut menambahkan. Karena kita bagian dari masyarakat yang peduli,” tegasnya.
BACA JUGA: DPPKBP3A Kabupaten Cirebon, Ida Laela Rukaeda: Pelaku Pelecehan Seksual Mayoritas Orang Terdekat
Siti menegaskan, perlidungan terhadap perempuan dan anak yang mendapat kekerasan seksual harus dilakukan tuntas, baik kepada korban maupun pelaku. Mentalitas keduanya juga harus dipulihkan secara tuntas, bukan setengah-setengah.
Menurutnya, perlindungan terhadap korban harus dilakukan secara tuntas, agar kedepan korban tidak menjadi pelaku. Fenomena ini banyak terjadi, sehingga pihaknya menilai penting untuk mengingatkan dan menekankan lagi. Selain itu, banyak juga anak yang berhadapan dengan hukum tapi tidak pernah dapat keadilan padahal ada hak anak.
“Korban kejahatan seksual harus benar-benar dilindungi, harus ada rumah aman. Sayangnya pemerintah tidak memiliki rumah aman. Maksudnya, rumah aman ini untuk mengamankan korban dari bully-an warga,” terangnya.
BACA JUGA: Kejahatan Seksual Dapat Menimbulkan Trauma
Ia menjelaskan, selama ini rumah aman yang ditempati korban adalah rumah pribadi milik dirinya. Selain rumah aman, pemerintah juga mestinya menganggarkan dana visum untuk korban kejahatan seksual.
Kalaupun pemerintah daerah tidak menganggarkannya, sambung Siti, hal tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah desa dengan mengokasikan anggaran melalui anggaran dana desa (ADD) sebanyak Rp600.000 sampai Rp1 juta per tahun.
Pasalnya, selama ini visum di rumah sakit di Kabupaten Cirebon tidak ada yang gratis. Hal itu berbeda dengan di Kota Cirebon. Dimana, rumah sakit Gunung Jati menggratiskan biaya visum ketika ada korban kejahatan seksual.
“Nah, poin tersebut bisa dimasukkan kedalam pembahasan Raperda P3A,” pungkasnya. (Islah)