Sebab, kata dia, meski posisinya jauh dari laut dan tidak terkena rob, cuaca kemarau tahun ini tidak menentu, karena di bulan Agustus ini masih turun hujan. Sehingga proses pengolahan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa menghasilkan garam.
BACA JUGA: Kebocoran dan Penyimpangan Garam Impor Bikin Harga Garam Lokal Anjlok hingga di Bawah Rp100/kg
Ia menjelaskan, kondisi lahan garam terendam air pasang ini sudah tiga tahun. Namun yang terparah adalah kemarau tahun ini. Dijelaskannya, pada tahun 2020 lalu, masih bisa memproduksi dan mendapatkan garam 7 ton dalam satu musim meski dari luas lahan 7.500 meter. Begitupun pada tahun 2021, lahan garam miliknya masih menghasilkan 5 ton garam.
Tapi di musim kemarau tahun 2022 ini, ia bersama petambak garam lainnya tidak bisa memproduksi sama sekali.
“Kalau dibandingkan tahun 2019 ya sangat jauh hasil produksi garamnya. Di lahan yang sama, saya masih bisa menghasilkan 85 ton garam dalam satu musim pada tahun 2019 lalu,” terangnya.
BACA JUGA: Petani Garam Curhat ke Moeldoko
Untuk harga garam di tingkat petambak, ia tak memungkiri memang lumayan tinggi. Per kilogramnya bisa mencapai Rp1.000 sampai Rp1.300 tergantung kualitas garam. Hanya saja, tingginya harga itu dikarenakan tidak ada garam di tingkat petambak.
“Percuma juga harga tinggi, kalau kami tidak bisa produksi. Tapi kalau semua bisa produksi, bisa saja harga garam seperti dulu-dulu. Saat panen raya malah anjlok di angka Rp100 per kilogramnya,” tutur Ismail.