Menurut salah seorang budayawan Cirebon keturunan Tionghoa, Jeremy Huang, surutnya dodol Cina karena mereka telah lebur menjadi masyarakat Indonesia. Mereka memang berusaha untuk menghilangkan tradisi tersebut.
Namun, lanjut Jeremy biasanya masyarakat pada penanggalan Imlek selalu ingin mencicipi. “Jadi mereka membuatnya dan membagikan kepada tetangga-tetangga,” ungkap Jeremy.
Jeremy Huang menambahkan, bagi kalangan masyarakat keturunan Tionghoa sendiri, tradisi membuat dodol makin surut. Tak seramai dulu. Masalahnya, banyak warga keturunan yang telah memiliki hari rayanya masing-masing sesuai dengan agama yang dianutnya.
Surutnya tradisi dodol keranjang rupanya diikuti pula dengan hilangnya “segalanggi”. Makanan khas masyarakat Tionghoa ini seringkali disuguhkan pada saat ada salah seorang keluarga mereka yang meninggal.
Simbol dukacita. Masyarakat yang turut membantu penguburan jenazahnya mendapat hadiah sebungkus nasi campur tersebut. Kini mereka lebih suka memanggil pedagang nasi jamblang ketimbang repot-repot membuat segalanggi. Kecuali kuaci atau kacang asin yang nampaknya jadi bahasa pembauran saat “melekan”, masih kerap disuguhkan saat ada seorang keluarga keturunan Cina yang meninggal dunia.***