SUARA CIREBON – Budayawan dan sejarawan Indramayu, KH Amsori memiliki kisah unik seputar penyusunan naskah atau teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta dan Achmad Soebardjo.
KH Amsori mengungkapkan kisah yang sangat menarik pada saat tiga funding father itu menyusun teks Proklamasi Kemerdekaan RI yang sangat bersejarah.
“Bung Karno bertanya kepada Bung Hatta, yang benar seksama apa saksama? Hatta menjawab, saksama,” tutur KH Amsori, Sabtu 17 Agustus 2024.
Sukarno, kata KH Amsosi, tahu bahwa kawan seperjuangannya, Hatta ketika itu masih bujangan. Diledeklah Bung Hatta oleh Bung Karno. Kalau seksama Sek Sama Siapa?
Tentu tidak ada tertawa sampai terbahak, tapi candaan itu sudah cukup untuk menghangatkan suasana teramat serius di tengah penulisan teks proklamasi.
(Selanjutnya Bung Hatta kita tulis Hatta saja; dan Bung Karno kita tulis Sukarno dengan ejaan ‘Su’, sebagaimana dikatakan sendiri dalam buku Sukarno Penyambung Lidah Rakyat. “Meskipun tanda tanganku menggunakan ejaan ‘Soe’, akan tetapi ejaan ‘Su’ aku lebih menyukainya”).
Begini menurut KH Amsori :
Teks Proklamasi hanya dua alinea, tapi makan waktu berjam-jam. Penulisan dimulai pukul 03.00 WIB malam Jumat tanggal 17 Agustus 1945.
Sampai dengan diketik dan ditandatangani, baru dinyatakan selesai. Kemudian pulang masing-masing digambarkan dengan kalimat yang menyertai suasana itu berbunyi “dua jam kemudian”. Maksudnya dua jam dari sejak dimulai sesi perumusan hingga penulisan teks proklamasi.
Awalnya Sukarno minta Hatta yg menyusun teks. Sukarno tahu Hatta memiliki kecakapan berbahasa yang bagus. Hatta menjawab, “Apabila aku mesti memikirkannya, lebih baik Bung yang menuliskan, aku mendiktekannya,” Hatta mengatakan itu dalam memoarnya.
Teks proklamasi disebut hasil gubahan Hatta, akan tetapi ada Achmad Soebardjo juga duduk di sampingnya. Dengan begitu kemudian dikatakan, teks proklamasi merupakan karya agung trio Hatta-Sukarno-Soebardjo.
Selanjutnya teks proklamasi tulisan tangan diketik oleh Sayuti Melik, didampingi Burhanuddin Mohammad Diah (BM Diah). Beres diketik baru disodorkan untuk ditandatangani.
Teks tulisan tangan belum ada tanda tangan, disebut teks proklamasi klad; kemudian teks proklamasi yang sudah diketik lengkap dengan tanda tangan disebut teks proklamasi otentik.
Ada perubahan, atau lebih tepat perbaikan dari klad ke otentik, di antaranya:
- PROKLAMASI menggunakan huruf kapital semua;
- Hal2 menjadi Hal-hal;
- Tempoh menjadi tempo;
- 17 – 8 – ’05 menjadi hari 17 boelan 8 tahoen ’05 –merupakan kependekan dari angka tahun 2605 kalender Jepang; dan yang terakhir,
- Wakil2 bangsa Indonesia menjadi Atas nama bangsa Indonesia.
Tentang ‘misteri’ 3 kata yang dicoret mungkin belum banyak yang tahu. Sebagaimana terlihat, sesudah kalimat “Hal2 jang mengenai penjerahan” (berhenti di sini).
Kata “Penjerahan” dicoret, tersedia dua kata pilihan yaitu “Pengambilan” dan “Pemberian”. Lalu dipilih “Pengambilan” diletakkan di atas kata “Penyerahan” yang sudah dicoret. Tetapi kata “Pengambilan” pun dicoret lagi (berhenti lagi di sini).
Sesudah tidak mungkin memakai kata “Pemberian”, dipastikanlah kata “Pemindahan” Demikian juga kata “Dioesahakan” dicoret lalu diganti kata “Diselenggarakan”.
“Penyerahan” dan “Pengambilan” dicoret karena mempertimbangkan Gunshirekan (panglima tertinggi tentara Jepang di Jakarta) tidak sampai tersinggung. Sekaligus menunjukkan betapa orang-orang besar kita menjunjung tinggi etika.
Adapun kalau memakai kata “Pemberian”, golongan pemuda akan sangat marah.
Ternyata merumuskan, menyusun dan menuliskan teks proklamasi tidak selancar abege menumpahkan imaji gombal pada puisi cinta.
Belum lagi keberanian Sayuti Melik memperbaiki redaksionalnya. Sebagai guru ia tahu ejaan kata yang berlaku saat itu. Lalu di mana keberadaan teks asli pada kertas asli sekarang?
Saking eforianya, gembira tak terkira pada Subuh itu, lupa nasib kertas “sobekan tak berharga” itu tergolek sendirian di meja. Keterangan lain menyebutkan di tong sampah.
Adalah BM Diah yang memungut kertas itu dan disimpannya hingga 47 tahun sebelum akhirnya disimpan di Arsip Nasional. Berkata BM Diah.
“Saya melihat teks asli itu tergolek di meja. Karena saya gembira, teks pada kertas asli itu terlupakan. Kertas itu saya ambil, saya lipat baik-baik dan kemudian saya masukkan ke saku. Empat puluh tujuh tahun lamanya saya simpan teks asli dan selalu saya bawa ke mana saja saya berkeliling dunia.”
BM Diah di kemudian hari mendirikan koran “Merdeka”. Menjadi diplomat, duta besar di sejumlah negara sahabat.
Pada tanggal 29 Mei 1992 BM Diah menyerahkan kertas teks proklamasi itu kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Selanjutnya oleh Mensesneg Moerdiono diserahkan kepada Arsip Nasional.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.