SUARA CIREBON – Masih dalam suasaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT Kemerdekaan RI) ke 78, 17 Agustus 2023, Suhu Jeremy Huang mengungkapkan sebuah kisah peristiwa sebelum pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan oleh Dwitunggal Soekarno – Hatta.
Ada satu peristiwa yang menjadi bagian dari rangkaian sejarah hariu-hari menjelang pernyataan kemerdekaan melalui pembacaan teks Proklamasi oleh Soekarno – Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jln Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat.
Suku Jeremu menceritakan soal peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta oleh sekelompok pemuda dan diamankan di sebuah rumah di daerah Rengasdengklok, wilayah administratif Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Suhu Jeremu mengawali cerita dari peristiwa setelah para pemuda mendengar kekalahan Jepang atas Sekutu dalam Perang Pasific.
Pada tanggal 16 Agustus 1945, pukul 03.00 WIB dini hari, para pemuda, diantaranya ada Soekarni, Adam Malik, Aidit, Wikana dan Chaerul Saleh membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok.
Untuk mengelabui Jepang, Sukarno disuruh mengenakan seragam tentara PETA. Istri Soekarno, Ibu Fatmawati dan putra sulungnya, Guntur juga ikut.
Rombongan menggunakan dua mobil. Satu untuk keluarga Sukarno, Di mobil lain, sudah ada Bung Hatta yang juga diculik oleh para pemuda.
Rombongan pemuda yang menculik Soekarno dan keluarga, serta Hatta, bersenjata lengkap dan siap tempur. Dikisahkan mereka berganti mobil, dan berkali-kali pindah persembunyian untuk menghindari patroli tentara Jepang.
Sampailah di sebuah tempat, bernama Rengasdengklok. Rombongan pemuda akhirnya memilih sebuah rumah seorang petani keturunan Tionghoa bernama Djiauw Kie Siong.
Rumah itu terletak di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Di rumah itulah, Soekarno dan keluarga kecilnya, serta Hatta disembunyikan.
Di rumah Djiauw Kie Siong, para pemuda mendesak agar Soekarno – Hatta segera membuat pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Tidak ada kekerasan fisik maupun tekanan psikis dalam peristiwa Rengasdengklok. Sebab para pemuda itu juga sangat menghormati Soekarno dan Hatta.
Para pemuda hanya ingin, Soekarno dan Hatta segera mengambil momentum menyerahnyaJepang kepada Sekutu, Amerika setelah menyerah tanpa syarat pada Perang Pasifik di tahun 1945 pasca dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Setelah melalui diskusi panjang akhirnya mereka membuat naskah teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa Rengasdengklok merupakan kronik sejarah penting dari rangkaian hari-hari menjelang pernyataan kemerdekaan Indonesia melalui teks Proklamasi.
Keturunan Tionghoa, Djiaw Kie Song dan rumahnya di Dusun Bojong Rengasdengklok menjadi salah satu saksi dari kronik sejarah penting tersebut.
Djiaw Kie Song bahkan mempersilakan para pemuda pejuang menempatkan Soekarno dan keluarga, serta Hatta tinggal di dalam rumahnya.
Rumah Djiaw Kie Song dibangun tahun 1920. Ia merupakan peranakan Tionghoa, sehari-harinya berprofesi sebagai petani miskin yang menamam palawija.
Berkat ketekunannya, Djiaw Kie Song akhirnya sukses. Ia pun menjadi saudagar dari hasil pertaniannya di Karawang.
Kebetulan rumah Djiauw Kie Siong berdekatan dengan sungai dengan tanah di kiri kanannya yang sangat subur untuk tanaman palawija maupun tanaman padi.
Djiaw Kie Siong, berdasar catatan sejarah, lahir tahun 1880 di Pisangsambo Tirtajaya Karawang. Ia merupakan putra kelahiran daerah yang menjadi salah satu lumbung pangan terbesar di tanah Air.
Tahun 1920 Djiauw Kie Siong membangun rumah di Dusun Bojong Rengasdengklok Karawang dengan biaya menabung dari hasil tanaman palawija yang mengantarkannya menjadi saudagar di Rengasdengklok.
Djiaw Kie Song tak sadar, bahwa dirinya akan masuk dalam pusaran sejarah penting dari perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya.
“Sejarah menunjukan ada peran peranakan Tionghoa dalam sejarah perjalanan bangsa. Bahkan di hari-hari penting menjelang pembacaan Proklamasi kemerdekaan,” tutur Suhu Jeremy, Jumat, 18 Agustus 2023.
Di rumahnya di Rengasdengklok yang dibangun dari hasil menanam palawija, naskah proklamasi yang akan menentukan perjalaanan sejarah Indonesia disusun.
Sampai kemudian, sejarah mencatat, Soekarno – Hatta membacakan naskah atau teks Proklamasi di rumah kediaman Soekarno di Jln Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat.
Memberi tempat bagi para pejuang, apalagi sekelas Soekarno – Hatta, pada masa pemerintahan pendudukan militer Jepang yang sangat represif dan kejam bukan perkara mudah.
Butuh keberanian. Jika takut atau tidak berkenan, Djiauw Kie Siong bisa saja tidak mengijinkan rumah dijadikan tempat penampungan dan pertemuan Sukarno – Hatta dengan para pemuda.
“Namun Djiauw Kie Siong berani mengambil resiko besar. Sebab jika terendus oleh Kempetai, polisi militer dan polisi rahasia Jepang, resikonya nyawa bisa melayang,” tutur Suhu Jeremy.
Dan itu tidak saja pada Djiaw Kie Song, tetapi bisa nyawa seluruh keluarganya. Bahkan bisa seluruh harta benda yang ia rintis sejak tahun 1920, akan musnah seketika oleh amukan Kempetai yang sangat kejam dan bengis.
Mempersilakan rumahnya digunakan oleh Soekarno Hatta untuk singgah dan menyusun teks proklamasi bukan perkara mudah. Butuh keberanian, resiko dan yang penting komitmen pada perjuagan kemerdekaan,
“Djiaw Kie Song memiliki kontribusi tersendiri yang tak bisa lepas dari sejarah hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,” tutur Suhu Jeremy.***