Oleh: Husein Fauzan Putuamar
*) Dosen pada Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), pegiat Ikatan Penulis dan Pemerhati KKB Cirebon
“SEBAIK-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku”. (al-hadits).
Launching Hari Keluarga Nasional (Harganas) pertama kali oleh Presiden RI Soeharto berlangsung di Bandar Lampung pada 29 juni 1992. Dengan demikian, 29 Juni tahun ini menurut hitungan jari diperingati Hari Keluarga ke-30. Puncak Harganas Tingkat Jawa Barat tahun ini akan diperingati di Kabupaten Pangandaran pada 26 Juli 2023 yang dihadiri para pucuk pimpinan pemerintah daerah Jawa Barat maupun kabupaten dan kota se-Jawa Barat.
Dilihat dari angka, 29 Juni bukan merupakan angka keramat. Tetapi melalui tanggal itu ada keinginan untuk menggemakan pentingnya institusi keluarga ke berbagai penjuru negeri bahwa eksistensi keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang melahirkan berbagai tipe manusia. Momen itu mengajak berfikir sejenak untuk bermuhasabah, menatap perjalanan keluarga dan mengevaluasi berbagai persoalannya, baik antar anggota keluarga maupun antara keluarga dengan lingkungan. Serta, menatap ke depan supaya menjadi lebih baik.
Sesungguhnya, yang lebih substansial dari peringatan Hari Keluarga adalah bagaimana momen itu dapat dijadikan sebagai kesempatan penting untuk merefleksikan sekaligus merevitalisasi bangsa yang amburadul dengan segudang permasalahannya melalui institusi keluarga.
Perilaku Destruktif
Pada suatu sisi, perilaku anak bangsa yang cenderung destruktif kian menampilkan gejala dehumanisme. Secara fisik, perilaku brutal, tawuran, perkosaan, penjambretan, penculikan, terlibat narkoba, perampokan bahkan pembunuhan telah menjadi bagian kehidupan. Dan lebih parah lagi, mereka kadang bangga saat prilaku negatifnya dipublikasikan atau dipertontonkan oleh media. Sementara itu, kriminalitas dalam keluarga seperti kekerasan dalam rumah tangga menambah panjang daftar kekerasan yang masuk dalam wilayah keluarga.
Disamping itu, pola hantam kromo (pinjam istilah Kuncaraningrat: mental menerabas) alias mental yang kian rusak dan prilaku korup yang mengabaikan kepentingan orang lain, bahkan kepentingan orang banyak sudah nyaris menjadi sebuah kebiasaan, bahkan menjadi tontonan di berbagai media. Persaingan licik di berbagai lini kehidupan nampaknya kian menjadi-jadi. Bahkan dalam dunia birokrasi yang seharusnya menjadi teladan, sebut saja transaksi promosi jabatan yang nota bene merupakan tanggung jawab dunia akhirat, sudah menjadi ajang bisnis.
Demikian pula dalam panggung politik, penjegalan calon presiden tertentu, pembegalan partai politik, rekayasa politik yang sistemik, penggelapan dan pembobolan anggaran negara, politik dinasti, politik uang, dan sebangsanya, kelihatannya sudah menjadi sesuatu yang “dihalalkan”. Tidak memiliki budaya malu lagi. Alhasil landasan moral, etika, nilai, dan sebangsanya sudah diabaikan. Bahkan mental untuk bersaing sehat hampir punah di negeri ini. Bila kehidupan buram seperti itu terus berlanjut, tidak mustahil, ke depan, yang namanya kejujuran dan keadilan hanya tinggal puing-puing berserakan. Dan, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan membereskan semuanya: adzab ! Naudzubillaah.
Mulai dari keluarga
Harganas yang diperingati di tingkat nasional setiap tanggal 29 Juni hendaknya menjadi ajang refleksi bagi semua komponen bangsa. Karena, sangat boleh jadi, kejatuhan negeri ini merupakan akumulasi erosi ketangguhan dan ketahanan keluarga. Bukankah ada pepatah Arab mengatakan bahwa keluarga adalah tiang negara, maju mundurnya negara bergantung keluarganya. Maka, apabila sebuah keluarga, yang notabene miniatur sebuah kehidupan bangsa, terdiri dari pribadi-pribadi yang bermental rusak dan berkarakter korup, saat mereka memiliki kesempatan memimpin bangsa ini, dapat dipastikan mental kepemimpinannya juga rusak dan korup.
Oleh karena itu, pembangunan karakter bangsa mestinya dimulai dari keluarga. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Dulu waktu rezim ini baru berkuasa, pernah mencanangkan Program Revolusi Mental, namun sayang program itu hanya janji-janji kampanye belaka dan kini tinggal nama. Betapa tidak, para pengelola negeri ini justru hanyut larut terbawa praktik pergumulan korupsi dan kolusi yang tiada henti.
Barangkali tidak berlebihan bahwa institusi keluarga perlu diberi perhatian lebih. Bahkan, sangat boleh jadi merupakan suatu keharusan. Betapa tidak ! Perkembangan zaman yang semakin transfaran, teknologi semakin canggih, kencangnya arus informasi yang sulit dihindari, telah memaksa budaya dari berbagai penjuru dunia, masuk tanpa pamit. Hampir pasti, setiap saat, kepada siapapun, nampaknya agak sulit menolak atau membendung terhadap derasnya banjir informasi itu. Kini batas-batas wilayah dan batas-batas antar negara hampir tidak berpengaruh dalam membendung arus informasi. Dan kini telah terjadi “revolusi informasi”.
Memang, dalam berbagai bidang, globalisasi memberikan nilai positif, tetapi juga pada sisi lain sangat berpeluang terhadap masuknya berbagai nilai dan budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian luhur Bangsa Indonesia.
Tidak bisa disangkal dan dipungkiri, keluarga berperan strategis, baik secara sosial, budaya dan ekonomi. Interaksi atau komunikasi antar insan sesama anggota keluarga yang terjalin intens, memungkinkan pengawasan menuju kehidupan lebih baik. Kehidupan yang lebih sejahtera. Jika sebuah bangsa ingin memiliki karakter yang sesuai dengan agama dan nilainilai luhur bangsa Indonesia, maka pembangunan dan pengembangan mental dan karakter harus dimulai dari institusi keluarga, antara lain yakni dengan mengoptimalkan fungsi keluarga tersebut.
Dari sekian banyak fungsi keluarga yang ada, diantaranya fungsi keagamaan, fungsi keluarga ini untuk menciptakan suasana keagamaan dalam keluarga, menciptakan anggota keluarga menjadi insan agamis yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut, kemudian mengamalkannya secara teratur. Dengan demikian, tertanam dalam jiwa bahwa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan tuntunan yang diatur dalam agama akan ada yang dirugikan. Melalui pengamalan fungsi ini, keluarga juga diharapkan memiliki motivasi yang tinggi, kuat, dan luhur, untuk membangun dirinya, bermoral, berakhlaq, berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang dianut. Karena tidak ada satu agama di muka bumi ini yang menganjurkan kemunkaran.
Fungsi lain adalah fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ini apabila dioptimalkan, keluarga akan berfungsi sebagai wahana pendidikan bagi anggota keluarga dalam hidup bermasyarakat sebelum bersosialisasi di alam nyata. Bagaimana para anggota keluarga dibekali hak dan kewajiban serta tanggung jawab bermasyarakat. Para anggota keluarga benar-benar disiapkan sebelum memasuki arena bermasyarakat yang sebenarnya.
Sesungguhnya, bila dicermati, pendidikan formal persekolahan lebih mengedepankan aspek kognitif. Sedangkan aspek lain yakni aspek afektif, yang sejatinya lebih penting yaitu proses internalisasi (suatu proses maju mundur dan jatuh bangunnya penghayatan serta kemauan pribadi untuk melakukan peresapan atau pengendapan atau pembatinan dalam hati) adanya dalam keluarga.
Mungkin masih ingat. Dulu, kita punya tradisi pembatinan pendidikan lewat mendongeng atau kisah-kisah teladan pada anak. Tradisi ini memiliki komunikasi multi dimensi. Terutama terpautnya hubungan hati antara ayah dan atau ibu dengan anak-anak. Terjalinnya hubungan kasih sayang dalam keluarga. Bercengkerama berbagi pengalaman, dan berbagi rasa. Terpeliharanya forum keterbukaan. Tersalurkan dan terpecahkannya persoalan-persoalan dalam keluarga. Itulah sebenarnya sendi-sendi internalisasi pendidikan yang hakiki dalam keluarga.
Namun, kini masih terdengarkan kisah-kisah dongeng itu ? Masihkah tradisi itu berlangsung di tengah-tengah keluarga ? Ataukah telah dipindahkan ke layar-layar kaca seperti hand phone, televisi, game online, komputer, dan sebangsanya. Yang semuanya itu serba “membisu”. Bukankah itu semua kurang menyentuh nurani anak-anak, apabila tidak ada jembatan hati yang dapat “membahasakan”nya, mereka itu adalah para orang tua atau anggota keluarga lain dalam keluarga.
Masih banyak fungsi-fungsi lain yang perlu terus dioptimalkan, dipacu dan dikembangkan, sehingga keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki kaya fungsi.
Tidak ada kata terlambat, mengisi momentum Harganas tahun ini, kita niati, nawaytu untuk menanamkan sendi-sendi kebaikan melalui optimalisasi fungsi keluarga. Sekecil apapun kontribusi kebaikan untuk keluarga, akan berdampak pada pembentukan mental dan karakter para anggota keluarga. Sehingga kita akan tergolong kedalam orang-orang yang diungkapkan Nabi dalam sabdanya di atas. Yang pada akhirnya akan membentuk bangsa yang sejahtera subur makmur dalam ampunan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, seperti diungkapkan para ustadz dalam ceramahnya: baldatun thoyyibatun warobbun ghafuur, aamiin. Dirgahayu Keluarga Indonesia ! Wallahu a’lam.***