Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulah : Jika Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Keberatan, Mereka bisa Masuk ke Kelompok Penerima Iuran dari APBN Maupun APBD
JAKARTA, SC- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menilai keterangan pemerintah terkait kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak memuaskan. Karena itu, Komisi IX DPR berencana akan membentuk Panitia Kerja (Panja) maupun Panitia Khusus (Pansus) BPJS. Ini dilakukan untuk menemukan solusi terbaik bagi masyarakat maupun pemerintah. Namun sementara ini, DPR minta BPJS Kesehatan menyelesaiakan beberapa pekerjaan rumah (PR) yang belum selesai.
“Kewenangan menaikkan iuran BPJS ada di pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres). Sesungguhnya rencana kenaikan itu sejak 3,5 tahun lalu, tapi tak juga naik, dan baru dinaikkan saat ini hingga 100 persen, sehingga mengejutkan,” tegas anggota Komisi IX DPR FPAN, Saleh Partaonan Daulay.
Hal itu disampaikan dalam Forum Legislasi “Bagaimana Solusi Perpres BPJS?” bersama Wakil Ketua Komisi IX FPKS DPR RI, Anshori Siregar, aktuaris dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) 2014-2019, Angger P. Yuwono, dan Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS), Hery Susanto, di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Lebih lanjut Saleh Daulah mengatakan, jika peserta BPJS itu ada tiga jenis; Mandiri, Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
“Jika PBPU keberatan mereka ini bisa masuk ke kelompok penerima iuran dari APBN maupun APBD. Jumlah PBI APBN berjumlah 96,8 juta orang. Peserta PBI ini bukan orang miskin, sebab yang miskin hanya 12 juta orang,” katanya.
Namun kata Saleh Daulay, pihaknya menginginkan pemerintah menjalankan PR sebelumnya sesuai hasil BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) yang melibatkan 1.800 auditor, ada 27,4 juta data yang ganda, faskesnya tidak jelas sekitar 6 juta, berbagai kecurangan/fraud dari pengelolaan BPJS Kesehatan, tidak membayar iuran, tidak menjadi peserta BPJS lagi, Kapitasi – uang menumpuk di Puskesmas Rp 2,5 triliun yang belum bisa ditarik oleh pemerintah, pembayaran uang lebih pada rumah sakit (RS) dan lain-lain.
Semua harus diselesaikan dan jika tidak, maka defisit akan makin besar. Tahun 2020 sekitar Rp 33 triliun, tahun 2021 defisit Rp 56 triliun dan seterusnya hingga ratusan triliun rupiah. “Kalau semuanya dibebankan pada peserta BPJS tentu membebani. Untuk itu, DPR minta formulasi yang lebih baik dan mencerdaskan masyarakat dengan menggali dana misalnya dari cukai rokok dan sebagainya,” pungkasnya.
Namun demikian Anshori Siregar mengapresiasi langkah Menkes Terawan Agus Putratnto yang kini terus berkeliling ke seluruh Indoensia untuk mencari peserta penerima BPJS yang benar0benar tidak mampu. “Pemerintah akan tetap menggratiskan,” tambahnya.
Hery Susanto, KORNAS MP BPJS mengatakan naiknya 100% iuran BPJS Kesehatan versi pemerintah melebihi usulan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebesar 60%. Meski besaran sama memberatkan warga, dengan terbitnya revisi Perpres Jaminan Kesehatan yang menaikan iuran BPJS Kesehatan itu berdampak pada munculnya migrasi kelas dari kelas 1 dan 2 ke kelas 3 dari peserta mandiri. “Sekarang banyak peserta kelas 1 dan 2 BPJS Kesehatan turun ke kelas 3, tentu ini harus diikuti dengan penambahan kamar rawat inap di kelas 3, itu tugas pemerintah,” kata Hery Susanto.
Hery Susanto mengatakan perlunya reposisi pengelolaan BPJS Kesehatan yang fokus urus JKN PNS yang digaji pemerintah dan warga miskin yang disubsidi pemerintah melalui PBI. Sedangkan jaminan kesehatan untuk pekerja baik formal dan informal diurus oleh BPJS Ketenagakerjaan. “Untuk itu perlu revisi UU BPJS, agar tidak terus carut marut dan membebani rakyat,” pungkasnya. (Arif/rls/SC)