CIREBON, SC – Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI) soal melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) memakai cadar atau niqab di lingkungan instansi pemerintahan, suatu bentuk kesalahan diagnosa yang dilakukan Menag soal radikalisme.
Hal itu disampaikan Ketua Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (Isnu) Kabupaten Cirebon Abdul Muiz Syaerozi, kepada Suara Cirebon, di kediamannya, Jumat (8/11).
Kata Muiz, dijadikan pedoman oleh Menag soal melarang memakai cadar atau celana cingkrang, yakni darul mafaasid muqoddamu ala jalbilmasholih, menolak dulu terhadap hal-hal yang madorot, sehingga mereka menilai ketika perempuan memakai cadar ada keterkaitan dengan perbuatan teror.
“Karena selalu saja ditemukan di lapangan faktanya, itu yang selalu perempuan yang terlibat dalam terorisme selalu memakai cadar. Tapi kalau laki-laki tidak, karena tidak selalu memakai cingkrang,” tuturnya.
Tegas Muiz, persoalan radikalisme ini tidak akan selesai, jika hanya diselesaikan dalam konteks cadar ataupun tidak cadar, karena soal itu, problemnya tidak hanya di pakaian.
“Radikalisme itu tidak akan bisa selasai, kalau hanya diukur dari cadar atau enggaknya. Karena probelmnya bukan dipakaian, tapi di otak dan pemikiran. Makanya harus dilakukan dengan revolusi atau berikan pemahaman tentang keagamaan,” tegasnya.
Dikatakan Muiz, statement Menag Fachrul Razi Batubara soal mewacanakan ASN dilarang memakai cadar dan celana cingkrang di lingkungan pemerintahan, suatu bentuk ketidakpemahaman Menag soal radikalisme sangat lemah.
“Sebenarnya (statemen) itu bentuk kesalahan diagnosa Menteri Agama soal radikalisme. Jadi itu menunjukkan bahwa tingkat pemahaman Menteri Agama soal radikalisme dan paham radikal itu sangat lemah sekali,” kata Muiz.
Tak soal itu saja, lanjut Muiz, terkait cadar sendiri dalam konteks fiqih itu persoalan khilaf, sehingga ada yang menganggap soal aurat, dan memiliki keterbatasan terkait aurat ini.
“Dalam konteks fiqih itu sebenarnya dari persoalan khilaf, yang berangkat dari satu ada yang menganggap soal aurat, berangkat dari aurat, jadi aurat itu, sampai batas mana sih, seluruh wajah atau kecuali wajah dan telapak tangan,” katanya.
Sehingga bagi Muiz, soal wajib menutup aurat, ketika seluruh wajah maka semua orang wajib menggunakan hijab atau cadar. Akan tetapi, ketika wajah dan telapak tangan, cadar tidak menjadi wajib.
“Kalau misalnya dalam konteks tertentu, cadar itu akan menimbulkan fitnah, maka hukumnya haram membukanya. Begitu pula dengan sebaliknya, kalau ternyata tidak bercadar itu akan membuat sahwat lelaki beringas, maka cadar itu menjadi wajib,” paparnya.
Ketika wacana larangan tidak diperbolehkan menggunakan cadar di intansi pemerintahan, lanjut Muiz yang wajib menggunakan cadar harus mengikuti peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan. Untuk itu, bagi Muiz soal ini harus dikaji secara komprehensif oleh pemerintah pusat, sehingga tidak ada kejanggalan.
“Harus dikaji secara komprehensif, kalau sudah menjadi keputusan. Cara melawannya bukan dengan memaksa pakai cadar, tapi harus mengadukan hal itu ke mahkamah konstitusi (MK), untuk menggugat peraturan pemerintah tadi,” katanya.
Adapun soal ini belum menjadi kesepakatan atau kepastian, kata Muiz, kemenag harus melibatkan seluruh elemen masyarakat atau organisasi masyarakat, seperti NU dan Muhammadiyah untuk mendiskusikan soal cadar.
“Kalau belum menjadi keputusan, maka mestinya Kementerian Agama itu melibatkan seluruh stakeholder masyarakat, mulai dari Nahdlatul Ulama (NU) Muhammadiyah dan seterusnya untuk membicarakan soal itu,” tegasnya. (M Surya)