Harga Jual Tahun Ini Terburuk, Pemerintah Dinilai Lepas Tangan
KAPETAKAN, SC- Petani garam mengeluhkan rendahnya harga jual garam pada musim panen tahun 2019. Petani garam menganggap, harga jual di tahun 2019 ini sebagai tahun terburuk sepanjang musim panen garam.
Salahsatu petani garam asal Desa Pegagan Kidul, Kecamatan Kapetakan, Saribah (49) mengatakan, menumpuknya ratusan ton garam di gudang penyimpanan terjadi akibat melimpahnya hasil panen namun harga jual sangat rendah yakni Rp260/kilogram.
Kondisi tersebut, kata Saribah, sangat merugikan para petani garam. Ia mengaku menderita kerugian yang cukup signifikan. “Harganya sangat rendah, ini jelas merugikan kami,” kata Saribah, Sabtu (6/12).
Menurut Saribah, selain harga yang rendah, menumpuknya garam juga terjadi karena panjangnya musim kemarau yang membuat hasil panen semakin melimpah.
Saribah menilai, pemerintah lepas tangan dengan kondisi tersebut. Pasalnya, hingga saat ini dia tidak melihat tindakan pasti dari pemerintah dalam mengentaskan persoalan harga.
“Ya kami ingin agar pemerintah mengkoordinir hasil panen para petani garam. Kami membutuhkan penampung atau pengepul dari pemerintah,” ucapnya.
Nasib yang sama juga dialami petani garam di desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan. Bahkan, petani di desa tersebut mengalami nasib yang lebih buruk. Pasalnya, garam hasil produksi mereka tidak ada yang membeli, sehingga garam menumpuk di gudang dan di sepanjang jalan dekat lahan tambak garam mereka.
Kondisi sudah terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Petani garam pun hanya bisa pasrah dan tetap menjalankan aktivitas mereka memproduksi garam. Hasil produksi mereka mayoritas hanya ditumpuk dan ditutupi terpal. Sebab, selain harganya anjlok, hanya ada satu-dua orang tengkulak saja yang masih mau membeli garam mereka.
Salah seorang petani garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Tohari (45) mengaku, sudah hampir dua bulan ini hasil produksi garam para petani tidak ada yang membeli.
“Sudah hampir dua bulanan tidak ada penimbang (pembeli) yang membeli garam. Terpaksa garam hanya ditumpuk, kita timbun saja, barangkali nanti nemu harga mahal,” ujar Tohari, Kamis (5/12).
Menurut Tohari, dia menjual garam kepada tengkulak dengan harga Rp 100 per kilogramnya. Padahal, sebelumnya pada awal-awal panen harganya masih Rp 500-700 perkilogramnya.
Dijelaskan, harga Rp100 per kilogram itu pun masih kotor, belum menghitung upah kuli panggul. “Untuk bayar kuli panggul satu karungnya Rp4.000 dan yang satu karung itu paling dapatnya cuma Rp5.000. Jadi masih besar kuli panggul dapatnya kalau tidak kita bawa sendiri garamnya ke tempat tengkulak,” kata Tohari.
Untuk itu, imbuh Tohari, salah satu solusinya ia terpaksa menyimpan garamnya di gudang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau untuk makan, Tohari harus mencari pendapatan lain atau hutang ke tetangga.
Sementara itu, salah seorang tengkulak garam di desa tersebut, Dul Ghoni (40) mengatakan, salahsatu penyebab tidak lakunya garam petani adalah karena produksi garam meningkat. Musim panas yang lebih panjang membuat garam menumpuk.
“Selain itu kita tidak ada orderan dari pembeli juga. Informasinya karena ada garam impor masuk, tapi saya juga belum tahu pasti info itu,” katanya.
Dengan alasan tersebut, kata Dul Ghoni, para tengkulak tidak lagi membeli garam para petani. Sebab stok garam yang sudah terbeli juga masih menumpuk di gudang-gudang milik tengkulak. Garam tidak bisa keluar karena tidak ada orderan.
Ia berharap pemerintah memperhatikan kondisi tersebut. Ketika stok garam petani melimpah, pemerintah diminta tidak impor garam.
“Stok garam kita itu cukup untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia. Apalagi tahun ini musim kemaraunya panjang, jadi harusnya pemerintah tidak impor garam,” ucapnya. (Islah)