CIREBON, SC- Setelah menunggu sekian lama proses penyelesaian carut marutnya Peraturan Teknis (Pertek) Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang tak kunjung ada solusi, Forum Komunikasi Pengembang Perumahan Cirebon (FKPPC) akhirnya angkat bicara. Mereka mendesak Pemkab Cirebon dalam hal ini bupati Cirebon agar segera memberi solusi atas permasalahan tersebut.
Ketua FKPPC, Yudo Arlianto dalam konferensi pers di salahsatu kafee Kota Cirebon Kamis (16/1) mengatakan, sampai saat ini masalah perizinan dan pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) masih belum juga ada solusi. Padahal sebelumnya melalui media massa pada 10 Desember 2019 bupati sudah berjanji akan menyelesaikan permasalahan tersebut selesai pada akhir Desember 2019. Target penyelesaian pada akhir Desember itu disampaikan agar investasi di Kabupaten Cirebon tidak mandek.
“Atas hal ini kami menyesalkan sikap bupati atas pernyataan tersebut, karena sampai saat itu bupati belum tahu alasan BPN tidak berkenan memberikan hak atas tanah tersebut. Namun bupati juga tidak dapat mengintervensi BPN, karena merupakan lembaga vertikal,” ujar Yudo.
Selain itu, kata Yudo, saat ini proses pemberian hak atas tanah juga masih menggantung. Padahal proses tersebut sudah berlangsung lebih dari 6 bulan, bahkan ada yang sudah 14 bulan. Namun sampai sekarang belum juga ada kejelasan.
Dijelaskan, sebelumnya pada 10 Januari 2020 FKPPC sudah berkirim surat kepada ketua DPRD Kabupaten Cirebon meminta difasilitasi dan dimediasi untuk diadakan pertemuan yang melibatkan pihak terkait yakni pemda, BPN dan pengembang. Surat tersebut merupakan tindak lanjut pertemuan dengan ketua DPRD pada Desember 2019 lalu.
Saat itu, kata dia, ketua DPRD menyanggupi untuk memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait di bulan Januari ini. “Adanya pertemuan dengan pihak terkait itu agar inti permasalahannya jelas. Sehingga setelah diketahui inti permasalahannya dan solusi yang tepat dapat dihasilkan. Memang kami pernah bertemu dengan BPN, tapi tidak ada pemda. Kami juga pernah bertemu dengan pemda, tapi tidak ada dari BPN,” papar Yudo.
Masih kata Yudo, polemik yang terjadi hingga saat ini membuat pihak pengembang sangat dirugikan sebagai pengusaha yang sudah berinvestasi di Kabupaten Cirebon.
Dalam kesempatan itu, FKPPC juga menyesalkan pernyataan Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kementrian ATR/BPN yang menyebutkan bahwa pengembang di Kabupaten Cirebon melanggar RTRW dalam menempuh perizinan. Pernyataan itu sepihak karena tidak melibatkan Pemkab Cirebon.
“Dan dia juga mengatakan heran kepada Pemkab Cirebon, kenapa dikeluarkan izinnya. Atas penolakan yang disampaikan direktur tersebut, kenyataannya sampai saat ini kami belum mendapatkam surat penolakan resmi dari BPN atas permohonan kami untuk diberikan hak guna atas bangunan,” tandas Yudo.
Yudo menegaskan, FKPPC mempunyai data dan argumen atas klaim BPN yang menilai adanya pelanggaran RTRW oleh pengembang. Klaim tersebut sangat tidak benar karena pada kenyataannya, peta yang dijadikan acuan BPN sebagai dasar pengeluaran Pertek BPN juga tidak sepenuhnya sesuai kenyataan.
Yudo mencontohkan beberapa lokasi perumahan anggota FKPPC yang mandek proses pemberian haknya, karena dinilai melanggar Lahan Produksi Pangan Berkelanjutan (LP2B). Padahal kenyataannya, anggota FKPPC sudah mendapatkan alih fungsi lahan dari Dinas Pertanian yang menyatakan bahwa lokasi tersebut bukan LP2B.
“Ada juga beberapa lokasi perumahan juga dinilai melanggar Garis Sempadan Sungai (GSS). Padahal kenyatannya di lokasi tersebut tidak ada sungai. Kemudian ada beberapa lokasi perumahan yang dinilai melanggar lokasi cagar budaya. Padahal kenyataannya di lokasi tersebut tidak ada cagar budaya. Ini pun sudah dapat klarifikasi tertulis dari Disbudparpora. Artinya jika Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kementrian ATR/BPN Mengklaim bahwa ukuran BPN sudah tepat karena menggunakan pengukuran koordinat berbasis digital, kenyataannya sistem itu tidak reliable,” sambungnya.
Pasanya , lanjut Yudo, dalam menetukan lokasi masih berbeda dengan kenyataan lapangan. Akibat permasalahan tersebut, akan menimbulkan masalah lebih besar karena pengembang tidak dapat melaksanakan usaha. Padahal investasi yang sudah ditanamkan sudah cukup besar.
Untuk pengadaan tanah mentah seluas 1 hektare saja, nilainya sudah Rp2,5 miliar sampai Rp3 miliar. Belum ditambah pematangan lahan yang nilainya mencapai Rp200 juta sampai Rp300 juta per hektare. Sedangkan FKPPC saat ini memiliki anggota sebanyak 22 pengembang.
“Kami masih mendata, tapi sekarang sudah ada 40 ribu yang belum keluar HGB. Kalau sampai akhir Januari tidak ada solusi, kami akan mempertimbangkan class action,” ungkapnya. (Islah)