KABUPATEN CIREBON, SC- Pansus Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DPRD Provinsi Jawa Barat menggelar roadshow ke daerah-daerah, termasuk di Kabupaten Cirebon. Roadshow dilakukan untuk meminta masukan dari berbagai pihak, mulai Pemkab Cirebon, aktivis, dan penggiat PPA.
Wakil ketua Pansus Raperda PPA DPRD Jawa Barat, Yuningsih mengatakan, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak harus komprehensif dan terintegrasi. Oleh karena itu, pihaknya sengaja datang ke daerah-daerah untuk meminta masukan point-point yang harus ditambahkan dalam Raperda.
“Kami datang untuk meminta masukan terkait Raperda PPA ini. Apa-apa saja yang harus ditambahkan dan disesuaikan dengan kondisi di daerah di Jawa Barat,” kata Yuningsih, Senin (15/6/2020).
Menurutnya, dari 5 Raperda yang dihantarkan di Provinsi Jawa Barat, Raperda PPA merupakan yang paling lama, karena persoalannya sangat kompleks, yakni menyangkut anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Dikatakannya, kabupaten dan kota di Jawa Barat belum memiliki Perda yang saat ini menjadi Raperda PPA di tingkat Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Dari hasil roadshow itu, imbuh Yuningsih, ada beberapa catatan yang akan menjadi bahan evaluasi Pansus. Catatan itu di antaranya terkait penganggaran untuk visum korban kekerasan, baik anak-anak maupun perempuan.
“Kita lihat masih sering ditemui di lapangan kondisi-kondisi seperti itu. Makanya nanti kita pastikan agar korban kekerasan (perempuan dan anak) akan dilayani dan biaya yang timbul akan ditanggung negara. Target kita akhir tahun ini bisa disahkan,” paparnya.
Sementara, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Cirebon, Iyan Ediyana, DPPKBP3A Kabupaten Cirebon sebagai dinas teknis sudah siap menyambut Raperda tersebut. Pasalnya, dengan Raperda PPA akan banyak yang bisa diselesaikan termasuk koordinasi dengan dinas terkait lain.
BACA JUGA: Atalia Apresiasi BKKBN Gigih Perangi Covid-19
“Misalnya TKW atau yang suaminya enggak pulang. Akhirnya kan harus ada penguatan ekonomi tingkat ibu-ibu. Makanya perlu penguatan dengan Disdagin dan koperasi. Dan persoalan di keluarga itu komplek,” kata Iyan.
Untuk penanganan korban kekerasan, dia mengaku sudah mengusulkan agar bisa fokus di DPPKBP3A. Mulai dari visum hingga penanganan psikologi korban. “Seperti misalnya ada kasus kekerasan PPA, untuk recovery kepercayaan diri kan harus menggunakan psikolog,” paparnya. (Islah)