KABUPATEN CIREBON, SC- Kesalahan yang dilakukan oleh Ketua DPRD Kota Cirebon, Hj Afiati dinilai telah menyalahi kode etik dan menabrak asas kepatutan pimpinan legislatif. Banyak pihak mendesak agar yang bersangkutan mempertanggungjawabkan kesalahannya.
Desakan itu, seperti yang disampaikan Ketua Lembaga Study Daerah (Lesda), Kabupaten Cirebon, Abdul Rokhim SPd. Pasalnya, ia menilai, politisi Gerindra itu sengaja memperkeruh suasana. “Ini bukan persoalan main-main. Naif sekali kalau sekelas ketua dewan sampai tidak mengerti khilafah,” tegas Abdul Rokhim, Selasa (14/7/2020).
Menurut dia, persoalan khilafah itu sangat krusial dan harus menjadi catatan karena menyangkut komponen bangsa. Harusnya, Ketua DPRD paham betul dengan yang namanya khilafah. “Khilafah itu kan kedok atas nama agama, apa bedanya dengan komunis,” kata Kang Rokhim, sapaan akrab Abdul Rokhim.
Oleh karenanya, Lesda Cirebon mendorong agar persoalan yang melilit politisi Gerindra itu diusut sampai tuntas. Ia tidak ingin publik akhirnya memahami Gerindra sebagai partai politik yang pro dengan khilafah. Makanya, apa yang terjadi pada kadernya, harus menjadi perhatian internal Gerindra.
“Sosok Afiati ini punya posisi strategis. Gerindra harus segera ambil sikap dan harus tegas. Turunkan saja, ganti dengan kader lain. Dan BK juga harus bertindak, ini tidak bisa dianggap sepele,” tukas dia.
Sebelumnya, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Cirebon, KH Aziz Hakim Syaerozie menilai, terlepas hal itu bagian dari kekeliruan atau kesengajaan, persoalan tersebut bukan persoalan sederhana, karena DPRD adalah simbol negara.
BACA JUGA: Draf Ikrar Memang Gagasan Fitria
Oleh karena itu, tidak ada alasan khilaf dan keliru kecuali secara kelembagaan harus mengulang ikrar yang menyebutkan penolakan terhadap seluruh paham-paham yang berpotensi mengancam keutuhan bangsa yang telah diatur dalam UU dan Perppu termasuk paham khilafah.
“Ini bentuk kesalahan terhadap negara, apalagi diafirmasi oleh pimpinan, anggota DPRD dan pihak TNI serta Polri. Pembacaan ulang ikrar dan pernyataan merupakan bagian dari pertanggungjawaban kelembagaan DPRD Kota Cirebon kepada negara dan permohonan maaf kepada ibu pertiwi,” tandas pria yang akrab disapa Kang Aziz itu.
Menurut Kang Aziz, banyak kelompok yang khawatir dan tersinggung akibat kesalahan tersebut. Karena, membuang kata khilafah saat membacakan ikrar, seolah menyetujui bentuk khilafah. “Jadi, meminta maaf kepada tokoh-tokoh ormas dan publik saja tidak cukup,” tegasnya.
Dia menjelaskan, permintaan maaf yang sesungguhnya adalah pembacaan ulang ikrar untuk senantiasa patuh dan setia kepada NKRI dan menyisihkan semua paham transnasional baik komunisme, leninisme, liberalisme, skularisme, maupun khilafah. Karena paham-paham tersebut dinyatakan secara verbal, baik dalam Undang-Undang maupun Perppu.
“Cara seperti ini merupakan kata akhir dari permohonan maaf ketua, anggota DPRD, TNI, dan Polri yang terlibat dalam kesalahan fatal pembacaan ikrar kepada negara akibat kelalaiannya,” papar Kang Aziz.
BACA JUGA: Lapkesdam NU Laporkan Tiga Pimpinan DPRD Kota Cirebon
Jika faktanya karena keraguan dan ketidaktahuan bahwa faham khilafah adalah bagian yang mengancam kedaulatan negara dan kesatuan NKRI, imbuh Kang Aziz, maka semua wajib mendesak DPRD Kota Cirebon secara kelembagaan, agar memperhatikan pentingnya pemahaman utuh tentang nasionalisme bagi anggota dan pimpinannya. Pimpinan pusat partai harus mengevaluasi anggotanya. (Islah)