KOTA CIREBON, SC- Beberapa hari ini, telah diramaikan adanya penyegelan pembangunan bakal pemakaman sesepuh Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan, yang terletak dekat Curug Goong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan telah disegel.
Penyegelan tersebut dilakukan pemerintah setempat beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari Senin tanggal 20 Juli, sehingga hal tersebut menuai konflik dari berbagai unsur masyarakat.
Seperti Aliansi Masyarakat Cirebon Anti Diskriminasi (AMCAD) yang diinisiasi beberapa lemabaga seperti Pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin Nyai Masriyah Amva, KH Marzuki Wahid dari Fahmina Institute dan Pengasuh Ponpes Darul Tauhid Arjawinangun KH Husein Muhammad menyatakan sikap, atas tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kuningan.
“Kami berpandangan bahwa penyegelan ini adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia (HAM) dan melanggar hak-hak konstitusional warga negara khususnya Sunda Wiwitan,” kata Juru Bicara AMCAD, Marzuki Wahid saat konferensi pers, Rabu (29/7/2020) di Jalan Majasem, Kota Cirebon.
Selain itu, dari pernyataan sikap ini, mereka menilai bahwa AKUR Sunda Wiwitan adalah gugusan masyarakat yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka, masyarakat AKUR juga ikut berjuang melawan penjajah Belanda.
“Oleh karena itu keberadaannya tida hanya saja legal dan sah sebagai bagian dari gugusan bangsa Indonesia melainkan juga bagian dari leluhur Nusantara,” kata dia.
Sesama sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dirinya menegaskan akan terus mengawal persoalan ini, dengan mempertemukan kedua pihak.
“Kami akan mengawal ini, sekaligus juga mencoba untuk mempertemukan antara teman-teman Sunda Wiwitan dengan masyaratakat Cisantana,” kata Marzuki.
BACA JUGA: Penyusunan Raperda PSU Kota Cirebon Masuk Tahap Finalisasi
Marzuki menilai ada kesalahpahaman antara masyarakat Desa Cisantana dengan Sunda Wiwitan, pasalnya, masyarakat setempat mengira bangunan yang sedang dibangun itu untuk sesembahan.
“Padahal sudah ada klarifikasi dari Paseban Sunda Wiwitan bahwa itu bukan sesembahan itu hanya simbol semacam batu nisan, itu bukan sesembahan,” kata dia.
Marzuki berharap jika dimungkinkan dapat mempertemukan kedua pihak antara masyarakat dengan Sunda Wiwitan agar tidak ada kembali kesalahpahaman dari kedua pihak. (M. Surya)