KOTA CIREBON, SC- Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Keraton Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, tak pernah surut dari jemaah atau pengunjung baik dari Cirebon maupun luar Kota Cirebon meskipun di tengah pandemi Covid-19 ini. Hal itu disebabkan karena antusias masyarakat dalam beribadah sekaligus berwisata religi di tempat bersejarah yang terkenal dengan azan pitunya (adzan tujuh).
Penjaga Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Anwar menuturkan, masjid tersebut tidak pernah sepi dari jemaah maupun wisatawan. Yang menjadi daya tarik, kata Anwar, karena masjid tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi, di antaranya arsitektur bangunan masjid yang bernilai syiar Islam, hingga adanya azan pitu.
“Salat tak pernah ditutup, salat lima waktu terus berjalan, dan Jumatan pun terus dilakukan, belum pernah libur sejak awal pandemi. Walaupun masjid lain sempat ditutup, tapi di sini selalu banyak pengunjung,” kata Anwar kepada Suara Cirebon di sela-sela kegiatannya, Senin (15/2/2021).
Anwar menambahkan, selama pandemi masjid itu tidak mengalami penurunan jemaah atau wisatawan yang drastis.
Adapun mengenai sejarah masjid yang mengamalkan azan pitu itu, Anwar bercerita bahwa konon permulaan adanya azan pitu karena dahulu ada seorang yang namanya Menjangan Wulung, kemudian berubah menjadi racun waluh ireng (waluh hitam) yang menempati masjid tersebut.
“Di situlah permulaan ada azan pitu, di situ setiap ada orang yang azan, maka ada orang yang meninggal, karena tidak kuat adanya racun waluh ireng yang berdiam di kubah masjid. Setelah itu, maka dilakukan musyawarah para wali, di antaranya Nyimas Kadilangu yang menjadi adiknya Sunan Kalijaga, dan hasilnya memutuskan untuk 7 orang muridnya untuk azan bersamaan, setelah itu baru ketika 7 orang muridnya yang azan, kemudian bisa menghancurkan kubah itu dan kubah itu berpindah ke Banten, serta ada sisanya di Indramayu, itu mitosnya,” tutur Anwar.
BACA JUGA: Satgas Keagamaan Minta Umat Ikuti Aturan
Semenjak itu, hingga saat ini, adzan pitu itu masih rutin dilakukan setiap salat Jumat di azan yang pertama. Hal itu dilakukan, kata Anwar, agar menjaga dan melestarikan peninggalan para ulama atau wali di zaman dulu.
Adapun, meski azan tersebut dilakukan oleh tujuh orang secara bersamaan, lantunan azan pitu tetap terdengar baik. Panjang pendek nada azan ke tujuh muazin azan pitu itu terdengar seirama. Mereka juga kompak menjaga keseimbangan tinggi rendahnya nada. (Yusuf)