CIREBON, SC- Di tengah sulitnya mendapatkan pasokan pupuk kimia bersubsidi, tak ada salahnya mencoba bertani secara organik. Selain hemat biaya operasional, produk pertanian organik juga laris manis di pasaran dengan harga istimewa.Melihat hal itu, alumni Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Muhammad Shobirin bersama dosennya semasa kuliah, Wakhit Hasim MHum mengembangkan pertanian organik di Desa Sampih, Kecamatan Susukanlebak, Kabupaten Cirebon.
Kebutuhan nutrisi tanaman disuplai dari kotoron hewan. Obat hama dan gulma bisa racik sendiri dari berbagai tanaman yang mudah didapat. Perawatan tanamannya pun sama dengan bertani kimia.
Shobirin yang tergabung dalam Jaringan Petani Ciayumajakuning ini sudah dua tahun menutrisi tanaman padinya secara organik.
Hasilnya memuaskan. Musim panen kedua tahun ini saja Shobirin mampu memanen sekira 2 ton gabah dari 300 bata luas sawahnya. Gabah kemudian digiling dan mampu menghasilkan sekira 1,3 ton beras. Jika 1 kg beras dihargai Rp13 ribu, maka Shobirin mampu mengantongi Rp16,9 juta dalam sekali panen.
Nominal tersebut masih tergolong besar meski dipotong biaya operasional. Seperti biaya penggemburan lahan, biaya tandur, biaya pengadaan dan tabur kotoran hewan dan biaya perawatan sampai panen.
Musim ini, Shobirin menanam varietas IR 46. Dan baru saja dipanen minggu lalu. Setelah digiling, beras yang dihasilkan putih bersih dengan bentuk sempurna. Hanya sebagian kecil yang patah.
“Kalau musim kedua biasanya hasilnya keren. Bagus untuk tanaman padi organik. Apalagi kalau varietasnya Ciherang,”ungkapnya belum lama ini.
Menurut Shobirin, saat ini kebutuhan beras organik sudah mulai tinggi. Bahkan permintannya suah ada sebelum panen. Pasalnya, pasokan beras organik masih langka di pasaran. Peluang usahanya pun terbuka lebar.
Apalagi bagi Shobirin yang terkoneksi dengan jaringan petani. Tidak sulit memasarkan beras organiknya. “Sebetulnya permintaan beras organik itu besar. Karena belum banyak yang petaninya,” jelas dia.
Shobirin memastikan, bertani organik tidak lebih sulit dari bertani konvensional. Tenaga yang dihabiskan bertani organik dengan konvensional juga sama. Bahkan, biaya operasional bertani organik diklaim lebih rendah.
“Iya jadi berorganik itu harus butuh keberanian. Karena organik itu tidak hanya hitung ekonomi tapi berusaha menjaga kesimbangan alam. Tanah kita sudah banyak dieksploitasi tanpa diperhatikan dari kebutuhan tanah itu sendiri,” katanya.
Sementara itu, Wakhit Hasim MHum terus memberi dukungan kepada mantan mahasiswanya yang terjun ke pertanian untuk mengolah lahan dan menutrisi tanaman secara organik.
Pasalnya kebutuhan beras organik di tengah menguatnya gaya hidup sehat tergolong tinggi. Lantaran tidak mengandung residu kimia yang berbahaya bagi tubuh untuk konsumsi jangka panjang.
Dia bersama jaringannya saat ini terus mengupayakan terwujudnya ekosistem yang baik bagi pegiat pertanian organik. Mulai dari memastikan ketersediaan kotoran hewan, pupuk cair organik (POC), pestisida dan herbisida organik. Semua itu dilakukan gotong royong. (Arif)