PERSATUAN Mahasiswa Bahasa Arab Indonesia atau yang dikenal dengan ITHLA adalah organisasi yang lahir di Yogyakarta, tepatnya di Villa Hesterenggo II, Kaliurang pada 9 Desember 2012 lalu.
Hal itu seperti disampaikan Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kementrian Agama RI, M. Ali Ramdhani saat memberikan sambutan sekaligus membuka Muktamar Persatuan Mahasiswa Bahasa Arab Indonesia atau yang dikenal dengan ITHLA IX secara virtual, Kamis (29/7/2021).
“Tajuk sambutan saya hari ini adalah gimana membangun aspek wasathiyah dalam transformasi organisasi untuk berdikari untuk pengembangan dan perluasan Bahasa Arab,” kata dia di awal sambutan acara tersebut yang dipusatkan di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Pasalnya, diungkapkan Ali, ITHLA tengah berikhtiar melakukan transformasi kelembagaan organisasi melalui wilayah yang berdikari.
Sebagai organisasi, imbuh dia, ITHLA terdiri dari mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, Terjemah Arab, dan jurusan lainnya yang terkai kebahasaaraban. Bahkan, beberapa tahun terakhir, Muktamar ITHLA pun dihadiri mahasiswa Bahasa Arab negara tetangga, seperti dari University Kebangsaan Malaysia.
“Di dalam berbagai perspektif pemahaman kita terhadap bahasa asing, termasuk di dalamnya bahasa arab, merupakan jendela dunia sebuah fasilitas atau kemampuan untuk memahami dunia secara luas,” tuturnya.
Apalagi, lanjut Ali, Bahasa Arab di lingkungan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Maka, Bahasa Arab menjadi bahasa asing utama, karena kitab suci umat Islam adalah Al-Qur’an dan Bahasa Arab.
Untuk itu, Bahasa Arab merupakan jendela untuk membuka wawasan dalam memahami dunia yang luas. Bahkan bisa menembus dimensi keduniaan dengan menyapa ruang keagamaan dan ruang keahiratan.
“Saya berharap, pemahaman Bahasa Arab dapat memerkokoh dimensi keagamaan kita,” ujarnya.
Ali memaparkan, apabila melihat kondisi dan konteks global, maka beberapa catatan dan sebaran Bahasa Arab di dunia mengalami lonjakan yang sangat signifikan pada dekade terakhir ini.
BACA JUGA: Ini Pesan Dirjen Pendis di Muktamar ITHLA IX
Bahkan, menurut data dari Islamic World Educational, Scientific and Cultural Organization (ISESCO), saat ini jumlah penutur Bahasa Arab di dunia mencapai 467 juta orang atau terbesar kelima setelah China, Spanyol, Inggirs, dan Urdu.
Tidak hanya itu, ungkap dia, salah satu universitas di Jerman juga menawarkan studi Bahasa Arab dalam waktu enam bulan. Di lingkup asia timur, studi Bahasa Arab juga mengalami perkembangan yang sangat besar, seperti di China, Korea Selatan, dan Taiwan. Negara-negara tersebut menjadikan Bahasa Arab menjadi bahasa asing kedua untuk diajarkan setelah Bahasa Inggris untuk diajarkan di sekolah-sekolah.
“Dan ketika kita melihat eksistensi kajian Bahasa Arab yang sesungguhnya bisa menjadi bagian dari muktamar ini, bahwa kita perlu menyadari bahwa Bahasa Arab bukan saja dari bahasa untuk bahasa, seperti nahwu shorof, balaghah, dan lain-lain, tetapi juga bisa diinterpretasikan untuk lain-lain, seperti sosiologi, antropologi, bahkan teknologi. Karena pada dasarnya bahasa, termasuk Bahasa Arab merupakan medium manusia untuk berinteraksi,” terangnya.
Selain itu, jelas Ali, bahasa juga merupakan instrumen promosi dialog antarbudaya dan agama. Hal itu dilakukan agar pesan damai antarpemeluk agama dapat tersampaikan. Karena, pada dasarnya Bahasa Arab bukan hanya soal kemampuan berbahasa, tapi juga terkait pengetahuan bahasanya.
“Bahasa Arab menjadi Bahasa Al-Qur’an yang selalu menjadi kajian yang menantang, karena tanpa penguasaan Bahasa Al-Quran dan Hadis, seseorang belum otoritatif sebagai muslim scholar,” tandasnya. (Arif)