WAYANG wong merupakan satu dari beberapa kesenian di Cirebon, Jawa Barat. Namun, aktivitas latihan kesenian ini harus terhenti akibat kondisi bangunan yang digunakan untuk latihan tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah.
Dipelopori seniman Cirebon, Mama Kandeg, kesenian yang sempat mati suri selama 25 tahun ini kembali bergeliat di tengah pandemi Covid-19. Seni wayang wong Cirebon berusaha bangkit. Cucu dari Mama Kandeg, yakni Wawan Dinawan mencoba melestarikan kesenian yang pernah digeluti kakeknya itu.
Upaya membangkitkan kembali seni wayang wong Cirebon tidak berjalan mulus. Berbagai rintangan harus dihadapi Wawan. Salah satunya kondisi sanggar wayang wong Cirebon, bernama Sanggar Seni Setiya Negara mengalami kerusakan parah.
Sanggar yang telah rusak berat ini berlokasi di Desa Suranggela Lor, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ditunjukkan Wawan, bagian atapnya telah ambruk dan temboknya pun nyaris roboh.
Usaha Wawan untuk menghidupkan seni wayang wong Cirebon mulai membuahkan hasil. Sejak pandemi, sekitar 130 orang murid sudah belajar di Sanggar Seni Setiya Negara. Tidak hanya wayang wong, mereka pun diajarkan kesenian tari lainnya.
“Tahun ini sudah 130 murid. Pertama buka yang belajar ada 70 murid. Tapi sekarang cuman 20 persen yang berangkat, karena kondisi sanggar rusak dan membahayakan,” kata Wawan, Kamis (11/11/2021).
Bangunan sanggar ini, kata dia, merupakan salah satu warisan dari Mama Kandeg. Sanggar tersebut menjadi saksi bagaimana kakeknya berkiprah sebagai seniman ternama di Cirebon. Sangar Seni Setiya Negara juga diketahui merupakan sanggar wayang wong tertua di Cirebon.
Namun, untuk sementara ini, kegiatan kesenian dialihkan ke salah satu rumah murid yang belajar di sanggar tersebut. Meski demikian, ada perasaan yang mengganjal di hati Wawan. Dia mengaku tidak bisa mengajarkan murdinya dengan leluasa.
“Cuma tiga minggu. Sempat pindah latihan ke rumah murid. Saya enggak enak, khawatir mengganggu lingkungan sekitar,” ucapnya.
Akan tetapi, menurut Wawan, pilihan tersebut adalah yang terbaik untuk saat ini. Karena, jika aktvitas latihan tetap diadakan di sanggar, maka dapat mengancam keselamatan peserta didiknya. Dia pun dihantui rasa khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Kalau latihan itu kadang gak sengaja ada murid yang bersandar ke tiang kayu. Sebelum ambruk, kita topang atapnya pakai kayu. Nah kalau ada yang bersandar, itu goyang. Jadi pas latihan anak-anak langsung teriak,” terangnya.
Sanggar pun mengalami ambruk pada awal Juli 2021 lalu. Sore hari saat anak-anak melakukan latihan. Peserta didik berhamburan lari ke luar sanggar sambil menangis.
Setelah peristiwa tersebut, lanjutnya Wawan, dia bersama rekannya langsung memungut genting yang tersisa di atap. Khawatir bila dua tiang yang masih berdiri tidak mampu lagi menahan atap sanggar. Karena, kedua tiang yang menyangga atap itu sudah lapuk dimakan usia.
“Kita sayang gentingnya, jadi kita ambil. Setelah ambruk dan genting berjatuhan, ada bagian depan sanggar yang rusak juga,” ungkapnya.
Akibat peristiwa itu, sejumlah orang tua murid melarang anaknya untuk latihan. Dia pun memaklumi hal tersebut. Sebab, kondisi sanggar juga sudah terlihat sangat memprihatinkan. Dia pun tidak ingin kejadian serupa terulang kembali.
“Ada beberapa murid yang sengaja libur. Ya tidak diizinkan oleh orang tua karena membahayakan,” tuturnya.
BACA JUGA: Dana Kurang, Perizinan Sulit, Kawasan Wisata Curug Gentong Terbengkalai
Rasa sedih terbenam dalam hati Wawan melihat kondisi sanggar saat ini. Keinginannya melestarikan kesenian yang dulu digeluti kakeknya harus dihadapkan dengan kenyataan, yaitu rusaknya sanggar.
Kini, Wawan menanti pihak terkait untuk terjun langsung melihat kondisi sanggar tertua wayang wong Cirebon, yang rusak dan ambruk karena dimakan usia.
“Batin saya menangis. Kalau saya pergi merantau kerja cari uang buat sanggar, yang di sini siapa?. Sanggar ini paling utama. Sebelum ambruk sampai sekarang belum ada (komunikasi) dengan pihak terkait. Saya pribadi siap kalau menunjukkan SK dan lainnya,” ucap dia. (Sarrah/Job)