KABUPATEN CIREBON, SC- Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Cirebon, R. Cakra Suseno mengatakan, pihaknya masih menunggu sikap tegas Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait relokasi perajin batu alam. Pasalnya, menurut Cakra, masalah limbah batu alam bukan hanya menjadi persoalan Kabupaten Cirebon saja, melainkan Pemerintah Kabupaten Majalengka.
“Sebenernya kita nunggu provinsi, karena ini kan menyangkut dua kabupaten yaitu Cirebon dan Majalengka. Kalau kita hanya merelokasi yang di Cirebon saja percuma juga,” kata Cakra, Minggu (14/11/2021).
Baginya, persoalan batu alam sudah sangat lama terjadi dan hampir tak pernah menemukan ujungnya. Anggota Fraksi Partai Golkar ini mengemukakan, persoalan batu alam juga dialami Kabupaten Majalengka pula.
“Kami harap provinsi jangan tutup mata lah. Cirebon sudah jelas, karena dampaknya paling besar di Kabupaten Cirebon karena hulunya di Kabupaten Majalengka. (Pabrik batu alam, red) adanya di perbatasan Majalengka hilirnya ke Cirebon full. Pokoknya gini memindahkan itu bukan besar kecil, kita memindahkan itu rata-rata proses dari pada izinnya tidak ditempuh,” jelas Cakra.
Cakra kembali menyebutkan, sia-sia saja melakukan relokasi perajin di Kabupaten Cirebon, sebab sebagai hilir Cirebon tetap akan menerima limbah batu alam dari Majalengka. Di sisi lain, lanjut Cakra, persoalan ini menyangkut ekonomi orang banyak.
Meski dari Provinsi Jawa Barat Kabupaten Cirebon telah memperoleh lahan seluas kurang lebih 10 Ha untuk tempat relokasi, tapi tetap perlu mendengarkan aspirasi para pengrajin. Karena, menurut dia, ini bukan hanya menyangkut masalah limbah melainkan masalah usaha itu sendiri.
“Kita sudah menganggarkan dan kalau tidak salah ada 10 Ha. Ya, gini kalau untuk industri batu alam sebetulnya kan ini dari dulu dan maksud dari pada relokasi kan berkaitan dengan pencemaran limbahnya yang masuk ke wilayah sungai. Nah ini menjadi satu PR berat. Kita juga tidak serta merta menutup dan merelokasi mereka. Tidak melihat masukan-masukan daripada pelaku usahanya,” paparnya.
Oleh sebab itu, perlu ada turut campur Provinsi untuk menginisiasi. Pihaknya telah sepakat, sebab dengan merelokasi pihaknya memiliki keinginan untuk menertibabkan perizinan masing-masing pengrajin.
“Masalah utama yang perlu diselesaikan adalah penanganan limbah. Makanya, harus ada turut campur dari provinsi untuk menginisiasi. Karena merelokasi kita kepengennya dalam hal ini menertibakan proses perizinan dan yang pasti pertama adalah bagaimana cara penanganan limbah,” katanya.
Dikatakannya, masih banyak pengusaha yang belum memiliki izin. Dengan memiliki izin sendiri jumlah total pengusaha dapat tercatat. Karena, banyak yang tidak memiliki izin, standar Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)-pun tidak terpenuhi. Alhasil, bak pun penuh dan luber.
Cakra menegaskan, Dinas Lingkungan Hidup sebagai leading sektor perlu melakukan normalisasi termasuk pemindahan.
“Di sini LH sebagai leading sector yang melakukan normalisasi termasuk pemindahan. Karena berdasar analisis pencemaran lingkungan hidup. Pencemaran dilakukan oleh para pengrajin batu alam. Artinya diadakan IPAL dan sebagainya. Sekarang ini kan luasnya hanya 3×3 meter perlapak,” tuturnya.
Dampaknya, sedimen di sungai semaki hari menumpuk. Makanya, ia mengatakan perlu dilakukan diskusi bersama perihal masalah limbah batu alam ini.
“Harus duduk bersama LH keinginannya sendiri seperti apa. Artinya LH dalam rangka meminimalisir limbah pengrajin batu alam. Karena, LH kan punya teknis,”ucapnya.
BACA JUGA: Relokasi Pabrik Batu Alam Tak Kunjung Selesai
Tidak hanya itu perlu juga mempertimbangkan pendapat para pengusaha. Tapi, tidak serta merta relokasi, apakah dengan relokasi seluruh pengusaha masalah limbah akan berakhir. Itulah yang menjadi pertanyaan.
“Kalau sudah direlokasi semua yang di Cirebon, ternyata dari Majalengka masih tetap. Karena hilirnya di Cirebon maka tetap saja. Kita tidak mungkin lintas mengirim surat Cirebon ke Majalengka. Paling kita ke provinsi dan Provinsi ke Majalengka agar provinsi sebagai leading sektor,” tandasnya. (Sarrah/Job)