CIREBON, SC- Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-M/383/HI.01.00/XI/2021 tentang Penyampaian Data Perekonomian dan Ketenagakerjaan dalam Penetapan Upah Minimum Tahun 2022, yang dirilis pada tanggal 9 November 2021, membuat buruh di seluruh Indonesia geram.
Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kabupaten Cirebon, Moch Mahbub mengatakan, surat edaran tersebut semakin memperjelas tentang nasib UMK tahun 2022, khususnya di Kabupaten Cirebon, yang semakin jatuh pascadisahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan turunannya.
Dalam surat edaran tersebut, kata dia, terdapat beberapa data yang diperlukan dalam perhitungan formula UMK 2022, di antaranya rata-rata pengeluaran per kapita Kabupaten Cirebon sebesar Rp1.016.767, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga 3,44, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja 1,34, pertumbuhan ekonomi dan inflasi Provinsi Jawa Barat masing masing 1,51% dan 1,76%.
Menurutnya, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 untuk menentukan upah minimum harus ditentukan upah batas atas dan upah batas bawah. Upah batas atas didapat dari rata-rata pengeluaran per kapita dikali rata-rata banyaknya anggota rumah tangga dibagi rata-rata anggota rumah tangga yang bekerja, maka upah batas atas didapat angka sebesar Rp2.610.207.
Kemudian, upah batas bawah adalah lima puluh persen dari upah batas atas, maka didapat angka sebesar Rp1.305.103.
“Kalau upah batas atas lebih besar dari pada upah minimum existing maka dipastikan UMK tahun depan mengalami kenaikan. Tapi apabila upah batas atas lebih rendah dari pada upah minimum existing maka Gubernur dilarang menaikkan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah pasal 26 ayat 5, terdapat rumusan formula upah minimum, dari angka-angka di atas, maka UMK Kabupaten Cirebon tahun 2022 mengalami kenaikan sebesar Rp10.426,” kata dia.
Namun, besaran upah minimum Kabupaten Cirebon 2022 ini belum ditetapkan resmi oleh Gubernur. Penetapannya dilakukan setelah upah minimum provinsi ditetapkan yaitu tanggal 20 November 2021.
“Dengan adanya surat edaran tersebut, kami FSPMI Cirebon raya dengan tegas menyatakan menolak keras,” tegas Mahbub.
BACA JUGA: Besaran Kenaikan UMK Belum Bisa Dipastikan
Meskipun memahami kondisi industri yang terpukul dengan adanya pandemi corona, namun menurut Mahbub tidak semua perusahaan terdampak. Menurutnya, buruh bertaruh nyawa di saat pandemi untuk tetap bekerja seperti biasa dengan menghasilkan produk yang mempunyai nilai jual. Bahkan buruh harus mengeluarkan uang tambahan untuk membeli masker, hand sanitizer dan vitamin untuk anak-anak dan keluarganya karena perusahaan tidak pernah memberikan fasilitas tersebut.
“Memang ada juga perusahaan yang memberikan beberapa fasilitas tapi tidak banyak, hanya sebatas saat di tempat kerja dengan jumlah yang minim, ditambah lagi dengan kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok lainnya,” paparnya.
Artinya, sambung Mahbub, daya beli buruh akan semakin tergerus oleh inflasi yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi akan melambat pula. Ia menambahkan, kenaikan sebesar Rp10.426 ini dinilai tidak manusiawi. Nilai tersebut jika untuk makan dengan lauk yang sederhana di warung makan saja, bisa lebih dari angka itu.
“Kalau Rp10.426 dibagi 25 hari kerja dalam sebulan hanya Rp417, bayangkan empat ratus perak buruh harus bertahan hidup untuk sebulan. Buruh yang bekerja 25 hari dalam sebulan yang menghasilkan nilai produksi atau jasa kenaikannya lebih mahal dari harga sebungkus pakan ternak, belum lagi ditambah anak dan istrinya,” ujarnya.
Dengan kenaikan yang tidak manusiawi ini, lanjut Mahbub, buruh dipaksa untuk bertarung sendiri dengan pengusaha untuk berunding kenaikan upah dengan membuat struktur dan skala upah. Padahal, ketika mendirikan serikat pekerja saja buruh sudah diancam PHK, apalagi buruh mau berunding upah.
“Belum lagi kalau di perusahaan tersebut tidak ada serikat pekerja, siapa yang akan berunding. Pemerintah harus hadir dalam hal ini, karena upah minimum adalah jaringan pengaman (safety net) agar pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum,” terang Mahbub.
Karena itu, ia meminta kenaikan UMK sebesar 10% berdasarkan kebutuhan hidup layak buruh di Kabupaten Cirebon sebanyak 64 item sesuai Permenaker No 18 2020. Data tersebut didapat setelah pihaknya melakukan survei Koevisien Hidup Layak (KHL) di tiga pasar tradisional, yaitu Pasar Plered, Pasar Minggu dan Pasar Arjawinangun. Data KHL yang didapat tersebut, sebagai data pembanding untuk kenaikan UMK tahun depan.
“Yang terakhir, kalau pada tanggal 26 November 2021 nanti Bupati tetap merekomendasikan besaran kenaikan UMK 2022 kepada Gubernur yang tidak manusiawi itu, kami buruh akan melawan dan bertahan. Kami yang tergabung dalam aliansi buruh Cirebon serta elemen buruh lainnya akan mempersiapkan diri untuk melakukan mogok kerja daerah, matikan mesin-mesin produksi dan berhenti bekerja serta menunggu instruksi pimpinan buruh kami di atas,” tegasnya. (Islah/Lis)